Jumat, 23 November 2007

KERAJAAN SYALOM

Dalam perjalanan bangsa Israel, ketika tiba pada masa monarkhi (kerajaan), terjadi satu hal yang tragis dimana kerajaan Israel menjadi pecah yaitu Kerajaan Utara dan Kerajaan Selatan.
Dari mana asal mula pecahnya kerajaan itu?

Mari kita simak firman dalam 1 Samuel 8:19-22:
19 Tetapi bangsa itu menolak mendengarkan perkataan Samuel dan mereka berkata: "Tidak, harus ada raja atas kami; 20 maka kamipun akan sama seperti segala bangsa-bangsa lain; raja kami akan menghakimi kami dan memimpin kami dalam perang." 21 Samuel mendengar segala perkataan bangsa itu, dan menyampaikannya kepada TUHAN. 22 TUHAN berfirman kepada Samuel: "Dengarkanlah permintaan mereka dan angkatlah seorang raja bagi mereka." Kemudian berkatalah Samuel kepada orang-orang Israel itu: "Pergilah, masing-masing ke kotanya."

Mengapa rakyat menolak raja dari keturunan Samuel? Ternyata hal itu dimulai dari keluarga Samuel sendiri.
  • Samuel sudah tua. (1 Sam. 8:1), dia mengangkat anaknya yang sulung, Yoel, dan anaknya yang kedua, Abia, menjadi hakim di Bersyeba.
  • Di lapangan, Yoel dan Abia, merupakan hakim yang tidak benar. Mereka hidup mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan. (1 Sam. 8:3). Orang Israel sangat membenci tindakan seperti ini. Dalam Perjanjian Baru, kita melihat kisah Zakheus.

Dari kedua alasan ini maka, bangsa itu menolak mendengarkan perkataan Samuel dan meminta seorang raja dan TUHAN mengijinkan Samuel. Maka diangkatlah seorang raja bernama Saul dari suku Benyamin (1 Sam. 9:1; 10:1; 13:1). Tetapi ia tidak taat terhadap perintah Allah melalui Samuel (1 Sam. 13:8-9; 13-14; 15:11, 19), maka tongkat kerajaan berpindah dari Saul kepada Daud. Daud menjadi raja atas Yehuda dan Israel (2 Sam. 5:5). Karakter khusus dalam kepemimpinan Daud adalah militer yang sangat kuat dengan banyak kuda perang. Alkitab mencatat bahwa Daud menempatkan pasukan-pasukan di pendudukan seluruh Edom, sehingga seluruh Edom diperbudak oleh Daud (2 Sam. 8:14).

Apa yang salah dalam pemerintahan Daud?

  • Melalui kekuatan militer, dia membunuh Uria isteri Batsyeba yang dia sukai (2 Sam. 11:15).
  • Melalui kekuatan militer, Daud memberlakukan kerja paksa atau perbudakan. (2 Sam. 12:31).


Kemudian setelah masa Daud, kerajaan masuk kepada kepemimpinan Salomo (1 Raj. 2:12). Tetapi apa yang kemudian yang salah dalam kepemimpinan Salomo?

  • Istana lebih populer dari Bait Suci (1 Raj. 7:1-12).
  • Banyak isteri.
  • Beban upeti yang tinggi (1 Raj. 12:4).
  • Menolak hukum raja dan keluarga (1 Raj. 12:14).


Hukum raja yang ditetapkan Allah kepada bangsa Israel dapat kita baca dalam Kitab Ulangan 17:14-20:

  • Cinta saudara-saudaranya.
  • Tidak boleh banyak kuda.
  • Tidak boleh banyak isteri.
  • Tidak boleh banyak emas, perak.
  • Membaca sejarah Israel.
  • Terus menerus belajar Taurat supaya jangan tinggi hati.


Nah, semua kriteria ini sudah dilanggar terutama dalam masa monarkhi (Daud, dan Salomo). Mereka hidup dengan memikirkan kebutuhan jasmani, padahal seorang raja dalam hukum Israel tidak diukur dari kekayaan (Salomo), kepopuleran dan kejayaan (Salomo, Daud). Dengan tidak memelihara fungsi kerajaan yang seharusnya membawa kerajaan ‘Syalom” maka terjadilah perpecahan dalam kerajaan itu.


Fungsi raja yang dituntut oleh bangsa Israel antara lain: Menjadi hakim (melekh) yang adil. (1 Sam. 8:19) dan pembebas dari perang bangsa-bangsa (1 Sam. 8:19)


Perpecahan kerajaan Israel menjadi dua kerajaan dapat kita baca dalam 1 Raja-Raja pasal 12. Yerobeam bin Nebat, seorang Efraim, bekas pegawai Salomo, menjadi raja atas sepuluh suku Israel, sementara suku Yehuda dan Benyamin dipimpin oleh Rehabeam anak Salomo.
Dari pengalaman raja-raja pada era Monarkhi, dapat kita simpulkan bahwa para raja-raja yang ‘diurapi’ Tuhan ternyata tidak menjalankan fungsinya sebagai raja yang membawa Syalom bagi umat Israel yaitu kerajaan yang memilik relasi yang damai dengan Allah, dengan sesama, dengan diri sendiri dan dengan lingkungan.


Dalam Yoh 14:27, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”
Semestinya pesan TuhanYesus ini pun menjadi pola bagi para pemimpin dunia, maupun pemimpin gereja masa kini bahwa mereka ditempatkan dalam takhta pucuk kepemimpinan bukan untuk memperkaya diri sendiri atau memperluas kekuasaan dengan menindas rakyat, tetapi menjalankan fungsinya bagi kesejahteraan. Di saat mereka lupa fungsi kewajiban yang sesungguhnya seperti yang dilakukan oleh para pemimpin sejarah dalam Kitab Suci, maka negara, bangsa, lembaga, dan organisasi gereja yang dipimpin akan mengalami perpecahan. Mereka ditempatkan untuk memberikan damai sejahtera seperti yang diteladankan oleh Tuhan Yesus.

Kamis, 22 November 2007

IMAN yang AKTIF

Berfirmanlah TUHAN kepada Abram, “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari dumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutujukkan kepadamu.” (Kej. 12:1).
Kata “pergi”, dalam Ibrani, lekh, ‘to walk’, artinya berjalan. Ini kalimat perintah (imperative) dari Allah. Abram disuruh pergi ke suatu negeri (eretz, tanah). Negeri yang dimaksud belum diketahui Abram. Ini masih merupakan bentuk visi, tetapi walaupun dalam Kej. 12:1, berupa bentuk visi, kita melihat dalam Kej. 15:7, pemakaian kata “memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu”, ‘memberikan’, nathan, leka, merupakan suatu pemberian yang pasti (imperfect).

Abram berasal dari Ur-Kasdim dimana hampir seluruh rakyat di daerah ini menyembah berhala. Kalau kita baca dalam Yosua 24:1-4, jelas bahwa Allah sengaja memilih orang yang tidak mengenal-Nya untuk menjadi alat misi-Nya. Seluruh keluarga Abraham adalah penyembah berhala.

Mengapa Abraham begitu cepat mau diperintah TUHAN? Bukankah dia dan seisi keluarganya sudah memiliki allah yang disembah?
Ada pepatah mengatakan ‘tak kenal maka tak sayang’. Dalam teologi terdapat istilah ‘penyataan’, ‘revelation’. Bentuk penyataan yang terjadi dalam era Abraham terdiri dari beberapa bentuk:

  • TUHAN langsung ‘berbicara’ kepada Abraham (Kej. 12:1).
    Suatu keajaiban bagi semua orang jikalau TUHAN berbicara langsung. Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, tidak seperti allah lainnnya.
  • TUHAN ‘menampakkan diri’ kepada Abraham (Kej. 12:7).
    Hampir semua terjemahan Alkitab menerjemahkannya dengan kata ‘appear’, dalam Ibrani ra-ah, artinya ‘to see’, melihat. Mungkin sebagian orang akan bertanya, bukankah Allah itu tidak bisa dilihat? Komentator, Henry M. Morris, mengatakan, “This is the first time in Scripture where we read of an actual appearance of God. Here there must have been an actual visible manifestation….”

Kita akui bahwa “theophany” berupa penyataan Allah dalam Alkitab terjadi dalam banyak cara yaitu, melalui malaikat TUHAN, tiang awan dan tiang api, atau melalui jejak kaki dan ‘belakang’ Allah (era Musa). Dalam era Musa sendiri, meskipun terdapat kalimat “berhadap-hadapan”, ‘berhadapan muka’ dengan Allah (Kel. 33:17-23; Bil. 12), tetapi jelas bahwa akar kata Ibrani dalam Bil 12:8, peh el peh, yang artinya ‘mulut ke mulut’ (RSV), mengindikasikan bahwa Musa tidak dijinkan TUHAN untuk melihat wajahNya kecuali hanya bagian ‘belakang’Nya. Sama halnya dengan Kel. 24:10, ketika Musa dan orang-orang yang bersama dengan Dia naik ke bukit, mereka tidak melihat wajah Allah, melainkan hanya ‘kaki’Nya.


Dengan melihat perbedaan ini, menurut saya, Abraham merupakan pengecualian. Seperti apa wajah Allah yang dilihat oleh Abraham kita tidak tahu, (bdg. Yoh. 1:18) tetapi sekali lagi mungkin tujuan Allah adalah untuk menetapkan hati Abraham terhadap misi besar yang akan dilakukannya.


Pertanyaan lain muncul yaitu jikalau Allah ingin memberikan suatu negeri kepada Abram, mengapa tidak langsung diberikan dengan identitas negeri yang jelas? Apa sebenarnya tujuan Allah dibalik pemanggilan Abram keluar dari Ur-Kasdim?
Allah merupakan Allah yang aktif yang dapat kita lihat mulai dari karya penciptaan sampai kepada pemanggilan Abraham itu sendiri. Memang logisnya kalau Allah yang memberi, mengapa Abraham harus susah-susah untuk berjalan, mengembara ke suatu negeri yang tidak diketahuinya? Disini jelas bahwa Allah pun ingin agar manusia itu aktif sekaligus lewat keaktifannya itu, akan terjadi suatu proses yang mengubah karakter. Proses yang dialami oleh Abraham tidak sedikit bahkan Alkitab banyak mencatat pola hidup dari Abraham yang ‘kurang menyenangkan’ hati Allah.


Abraham sendiri tidak sampai kepada tanah yang dijanjikan. Setelah tenggang waktu cukup lama, janji Allah ini ditegaskan kembali dalam era Musa. Dalam Keluaran 3:6-8, TUHAN berfirman, “6 Lagi Ia berfirman: "Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub." Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah. 7 Dan TUHAN berfirman: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. 8 Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.”


Tujuan negeri yang tadinya masih berupa visi, kini di era Musa sudah mulai kelihatan identitas negeri tersebut. Bahwa Tuhan akan menuntun mereka ke suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.
Mengapa begitu lama Tuhan Allah memberikan tanah itu – sampai melewati era Abraham, Ishak dan Yakub para bapa leluhur Musa? Yang paling menyedihkan setelah orang Israel diperbudak selama kurang lebih 430 tahun di Mesir!


Jelas bahwa Allah yang aktif, juga menginginkan manusia itu aktif dalam meresponi perintahNya. Allah tidak memberikan tanah dengan gampang, seperti seorang ayah langsung memberikan mainan kepada anak kesayangannya. Meskipun umat Israel adalah umat pilihan dan kesayanganNya, tetapi mereka harus berjuang untuk mendapatkan negeri yang dijanjikan itu dengan memproses karakter dan ketaatan mereka kepada-Nya. Di satu sisi, dari sinilah muncul pemahaman bahwa manusia harus KERJA. Tidak serta merta, umat Israel menemukan ‘susu’ dan ‘madu’. Ini menentang pemahaman banyak orang yang mengalami ‘syndrom Israel’, dengan mengatakan bahwa tanah itu diberkati tanpa melihat sejarah. Mereka lupa sejarah bahwa apa yang dihasilkan oleh bangsa Israel dari jaman dulu dan sekarang, tidak terlepas dari kerja keras mereka dalam mengelola tanah tersebut. Memang mereka telah dikaruniai Tuhan intelektual yang brilian, yang mungkin diatas rata-rata orang normal. Dan melalui intelektual inilah Allah bekerja memberikan kesejahteraan dan hasil bumi yang mengagumkan meskipun hampir sebagian besar tanah di sana gersang. Ini relevan dengan firman Allah sendiri, “dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah.” (Kej. 3:19). Ini bukan hukuman (kutuk?) yang harus dipatahkan. Apakah “teologia pematahan kutuk” akan serta merta memberikan kemakmuran bagi bangsa-bangsa tanpa ada aktivitas di berbagai bidang misalnya ekonomi yang berhubungan dengan perdagangan, agraria, transportasi dan sebagainya? Apakah susu dan madu yang dijanjikan Allah bagi bangsa Israel datang dalam bentuk bungkusan besar jatuh dari langit? Tidak. Manusia tetap harus kerja tetapi bagi orang yang hidup dalam perintah-Nya, maka apapun yang dikerjakan akan berhasil dan menjadi berkat bagi banyak orang. Jangan lupa, bahwa perjalanan menuju tanah Kanaan, orang Israel harus membunuh bangsa lain atas seijin Allah. Jadi meskipun tanah itu adalah pemberian Allah, namun bangsa Israel harus aktif untuk mengusahakan dan mendapatkannya.


Kasih Karunia Tanpa Syarat?


Kita sudah memahami bahwa Allah yang berinisiatif “memberikan” tanah perjanjian bagi bangsa Israel melalui bapa leluhur. Pemberian, gift, merupakan anugerah yang semestinya manusia terima tanpa syarat. Demikian halnya dengan penyataan Allah yang inkarnasi menjadi Manusia, Yesus Kristus. Adalah inisiatif Allah mengutus Anak-Nya yang Tunggal, karena kasih-Nya yang besar (Yoh. 3:16). Allah ingin menyelamatkan manusia yang sudah berkembang biak banyak tetapi penuh dengan dosa tersebut, melalui pencurahan darah Tuhan Yesus di kayu salib. Yesus menyanggupi misi Allah terhadap diri-Nya. Dia rela disalib agar umat manusia itu bisa lagi berhubungan dengan Allah dan layak masuk sorga.
Sekarang timbul pertanyaan yang sudah sangat lazim sejak bapa-bapa gereja dan sejarah pembentuk aliran denominasi. Apakah keselamatan itu bersyarat? Apakah setelah Allah “memberikan” Anak-Nya, maka manusia itu pasif sebagai orang percaya, tanpa ada tanggung jawab lagi untuk mempertahankan keselamatan tersebut? Apakah cukup dengan kata percaya, seperti yang Paulus katakan, ‘mengaku dengan mulut dan percaya, maka selamat’? (Rm. 10:9).
Saudaraku para pembaca, seperti yang dijelaskan di awal bahwa ‘pemberian’ Allah kepada Abraham tanah perjanjian, harus dikerjakan. Demikian halnya, keselamatan harus ‘dikerjakan dengan takut dan gentar” (alarm, fright), kata Paulus di kitab yang lain (Flp. 2:12). Bangsa Israel banyak yang mati bahkan atas seijin Allah lewat penghukuman, karena tidak taat kepada-Nya, padahal identitas mereka adalah umat pilihan dan umat kesayangan. Apakah Anda merasa menjadi umat pilihan karena sudah mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat? Amin. Tetapi jangan lupa, Anda harus aktif mengerjakannya, karena seiring berjalannya waktu, Iblis selalu mengaum-aum mencari mangsa yang dapat dimakannya. (1 Ptr. 5:8). Bahkan Yesus yang penuh Roh pun dicobai oleh Iblis (Mat. 4:1-11). Di saat kita lengah, karena pandangan akan kasih karunia tanpa syarat, pada saat yang sama sebenarnya sudah menuju kepada kebinasaan. Meskipun Paulus dalam suratnya di Roma mengutamakan 'iman' daripada 'perbuatan', namun konteksnya pada saat itu adalah menyangkut sisa Israel dan keberadaan mereka yang patuh terhadap hukum Taurat daripada beriman kepada Tuhan Yesus. Paulus dalam ayat lain di surat Roma, menegaskan bahwa ia tidak pernah bermaksud untuk membatalkan Hukum Taurat karena iman, tetapi justru untuk meneguhkannya. Ini berarti melengkapi apa yang dikatakan oleh Yakobus bahwa iman dan perbuatan merupakan dua faktor kesempurnaan dalam kekristenan. Abraham tidak akan disebut sebagai bapak beriman kalau ia tidak bertindak untuk mempersembahkan anaknya Ishak.

Dalam Injil Matius 7:21-23, jelas dikatakan, “21 Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. 22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? 23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"


Keaktifan yang saya maksud disini bukanlah seperti agama lain yang berusaha mencari keselamatan. Keselamatan umat Kristen sudah didapatkan dan itu merupakan pengakuan iman kita kepada Tuhan Yesus. Tetapi, seperti Abraham, Musa bahkan Yosua aktif, maka kita pun harus menjadi anak-anak Tuhan yang aktif, bukan pasif, dalam memelihara keselamatan itu. Mungkin ada yang bertanya, apakah mungkin? Jadi apa artinya kasih karunia kalau masih ada syaratnya, yaitu perbuatan? Ingat, bahwa Tuhan Yesus memahami segala keterbatasan kita. Dia mengerti kemampuan kita tiap individu. Sebagaimana Allah menetapkan tanggung jawab standar kekudusan moral yang tinggi bagi umat Israel, maka sesungguhnya dibalik keterbatasan kita sebagai manusia, Allah pun mengharapkan kita untuk mau membuka hati diperbaharui setiap saat supaya meneladani karakter Yesus. Metode keselamatan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tetap sama. Kasih dan murka Allah tetap sama yang berbeda adalah indikatornya. Kalau di Perjanjian Lama hukuman langsung terlaksana tetapi dalam Perjanjian Baru tidak demikian.

Melalui pembacaan firman diatas, itu mengindikasikan bahwa Tuhan tidak melihat hasil pelayanan kita. Pelayanan itu ternyata bukan ukuran Tuhan Allah bagi layaknya seseorang masuk kerajaan sorga, tetapi melakukan 'kehendak Bapa', (Mat. 7:22), kehendak (Yunani: thelema), artinya ketentuan, sabda, titah. Kalau tidak melakukan kehendak Bapa, maka selanjutnya dikatakan, "enyahlah, kamu pembuat kejahatan" (Mat. 7:23). 'Kejahatan' (Yunani : anomia), artinya pelanggaran hukum, ilegalitas (violation of law). Hukum yang mana yang dimaksud? Dalam Mat. 7:12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Dengan demikian jelas bahwa tanpa kasih kepada Allah dan sesama, pelayanan kita tidak ada artinya; selanjutnya setiap anak-anak Tuhan diharapkan untuk memiliki pembaharuan karakter dalam tindakan nyata sehari-hari yang kalau boleh saya pinjam istilah dari seorang hamba Tuhan, kita harus menjadi KLONING TUHAN YESUS, mengenakan baju Yesus. Amin.

Senin, 12 November 2007

Core Business Gereja

Core business artinya inti, esensi atau ciri khas dari gereja yang menentukan gereja tersebut agar bisa bertahan dan maju. Bukankah setiap gembala sidang ingin agar jemaat bertumbuh secara kuantitas dan kualitas? Bicara masalah core business gereja, kalau boleh saya harus menghindari pemakaian kata “franchise”, karena kata ini bisa mengarahkan pandangan kita kepada business sekular yang hanya berusaha membuat perbedaan yang unik dari yang lainnya. “Menu disini lebih enak karena ditambah dengan bumbu yang tidak pernah diketahui restoran lain”, kata seorang koki restoran terkenal. Lagi pula kalau kita ingin membedakan gereja kita dengan gereja lain, itu sama saja menyangkal kesatuan “tubuh Kristus” yang faktanya memiliki banyak karunia misalnya mujizat, hikmat, bernubuat, mengajar dan lain-lain. Jika “tubuh Kristus” dipisah-pisahkan maka artinya sama dengan perpecahan. Selanjutnya Paulus menambahkan bahwa semuanya itu “untuk kepentingan bersama, karena Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.” (1 Kor. 12). Kalau point ini dilewatkan atau diabaikan sebuah gereja, maka sesungguhnya gereja tersebut harus mengevaluasi kembali doktrin yang ditetapkannya dalam mendirikan sebuah gereja Tuhan.

Jadi apa sebenarnya yang menjadi core business gereja? Saya akan mengajak para pembaca untuk membahas firman dalam Lukas 5:1-11. (Penjala ikan menjadi penjala manusia).

Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. 2 Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. 3 Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. 4 Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." 5 Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." 6 Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. 7 Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. 8 Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa." 9 Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; 10 demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." 11 Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, merekapun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.

Dari pembacaan firman diatas, beberapa cara yang sudah sering dilakukan gereja agar bertumbuh, antara lain:

Mendengar firman Allah (ay. 1).
Mengajar, atau pemberitaan firman (ay. 3).
Mengikuti perintah Tuhan (ay. 5).
Mujizat (ay. 7).
Misi (ay. 10).
Mengikut Yesus (ay. 11).

Yang menjadi pertanyaan adalah yang mana dari keenam tersebut diatas yang menjadi core business gereja?

Tentu akan terdapat banyak pandangan, ada yang memilih satu, dua, tiga, empat bahkan semuanya bukan? Kalau pertanyaan ini dijawab dengan memilih salah satu atau semuanya, maka kesimpulannya adalah perpecahan. Pemilihan dari salah satu pilihan kadang mencerminkan eksklusivisme, menganggap bahwa karunia itu adalah milik kami bukan milik gereja Tuhan secara universal. Kadang tidak salah memberikan penekanan pada salah satu karunia, tetapi yang sering terjadi dalam gereja adalah pergeseran paradigma terhadap prinsip kesatuan tubuh Kristus seperti yang diharapkan Yesus dalam doa-Nya; “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh. 17:21).

Jadi apa yang menjadi core business gereja? Jawabannya bukan dari yang keenam diatas tetapi pada ayat 8. “Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa."
“TERJADINYA PERTEMUAN ANTARA TUHAN DAN MANUSIA” adalah merupakan core business gereja Tuhan.

Simon Petrus adalah nelayan dan pasti dialah ahlinya. Perbedaan yang kontras terhadapa pemanggilan Yesus terlihat dalam ayat 5 dan 8. Dalam ayat 5, Simon memanggil Yesus dengan “Guru”. Simon masih melihat sosok Yesus sebagai seorang pengajar yang mungkin selama ini sudah sering didengar oleh Simon dari orang maupun sinagog. Simon dengan keyakinan dirinya sebagai pakar penjala ikan, dengan hati yang terpaksa dia mengikuti perintah Yesus sebagai anak tukang kayu. Apa yang terjadi selanjutnya adalah suatu keheranan yang sangat luar biasa pada ayat ke 7. Mungkin Simon sudah biasa melihat jala penuh dengan ikan, tetapi yang tidak biasa (supranatural) adalah jala tersebut sampai koyak, karena tangkapan ikan yang sangat berlimpah-limpah.

Simon akhirnya mengubah cara pemanggilannya kepada Yesus dari seorang guru kepada sebutan “Tuhan”. Simon telah bertemu dengan Tuhan Yesus. Dia tersungkur dan merasa tidak layak dihadapan Tuhan Yesus. Satu point yang sangat menyentuh disini adalah bahwa “DISAAT SESEORANG BERTEMU DENGAN TUHAN YESUS, PADA SAAT YANG SAMA AKAN MELIHAT SIAPA DIRINYA SENDIRI.”

Simon melihat ada perbedaan yang sangat jauh antara dia dan Tuhan Yesus yang penuh kuasa, bahkan laut pun taat kepada-Nya.

Nah, kalau semua gereja mengalami PERTEMUAN seperti ini, maka gereja pun akan berkaca akan segala kekurangannya. Bahwa bukan karena pekerjaan manusia, hamba Tuhan maupun gembala sidang, yang menjadi tolok ukur pertumbuhan gereja secara kuantitas maupun kualitas, tetapi apakah seluruh umat tanpa terkecuali sudah BERTEMU dengan Tuhan Yesus sungguh-sungguh? Simon segera meninggalkan jalanya dan ikut Yesus. Perubahan yang radikal ini merupakan esensi bagi gereja untuk bisa bertahan dan maju.

Mujizat merupakan salah satu cara untuk mempertemukan seseorang kepada Tuhan Yesus. Pertemuan ini harus dipertahankan melalui pengajaran akan firman Tuhan yang benar, pujian penyembahan yang benar, dan pengaturan tata gereja yang benar. Dengan memahami ini semua, maka “tubuh Kristus” yang berbeda karunia tersebut akan berjalan langgeng bersatu, melakukan transformasi di berbagai aspek terutama tidak mengurusi dirinya sendiri lagi, tetapi menjadi terang dan garam bagi bangsa dan dunia. Dunia akan melihat bahwa gereja penuh kuasa untuk mengubah kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan dan keterbelakangan. Dalam hal ini doa Yesus sudah terjawab, bahwa seperti Dia dan Bapa adalah satu maka kita pun satu. Amin

Sabtu, 03 November 2007

SUATU TAFSIRAN TERHADAP SURAT II YOHANES

Struktur surat ini secara keseluruhan konsisten dengan tujannya. Penulis tidak menyela secara tiba-tiba dengan beritanya. Dia menulis dengan otoritas dan masih dengan kehangatan seorang bapa. Pemikirannya masih dalam dua tema yaitu saling mengasihi dan iman Kristen yang benar.


PENDAHULUAN

Teks Surat II Yohanes

Teks Yunani

2 John 1:1 ~O presbu,teroj evklekth/ kuri,a kai. toi/j te,knoij auvth/j( ou]j evgw. avgapw/ evn avlhqei,a( kai. ouvk evgw. mo,noj avlla. kai. pa,ntej oi` evgnwko,tej th.n avlh,qeian( 2 dia. th.n avlh,qeian th.n me,nousan evn h`mi/n kai. meqV h`mw/n e;stai eivj to.n aivw/naÅ 3 e;stai meqV h`mw/n ca,rij e;leoj eivrh,nh para. qeou/ patro.j kai. para. VIhsou/ Cristou/ tou/ ui`ou/ tou/ patro.j evn avlhqei,a kai. avga,phÅ 4 VEca,rhn li,an o[ti eu[rhka evk tw/n te,knwn sou peripatou/ntaj evn avlhqei,a( kaqw.j evntolh.n evla,bomen para. tou/ patro,jÅ 5 kai. nu/n evrwtw/ se( kuri,a( ouvc w`j evntolh.n kainh.n gra,fwn soi avlla. h]n ei;comen avpV avrch/j( i[na avgapw/men avllh,loujÅ 6 kai. au[th evsti.n h` avga,ph( i[na peripatw/men kata. ta.j evntola.j auvtou/\ au[th h` evntolh, evstin( kaqw.j hvkou,sate avpV avrch/j( i[na evn auvth/ peripath/teÅ 7 {Oti polloi. pla,noi evxh/lqon eivj to.n ko,smon( oi` mh. o`mologou/ntej VIhsou/n Cristo.n evrco,menon evn sarki,\ ou-to,j evstin o` pla,noj kai. o` avnti,cristojÅ 8 ble,pete e`autou,j( i[na mh. avpole,shte a] eivrgasa,meqa avlla. misqo.n plh,rh avpola,bhteÅ 9 Pa/j o` proa,gwn kai. mh. me,nwn evn th/ didach/ tou/ Cristou/ qeo.n ouvk e;cei\ o` me,nwn evn th/ didach/( ou-toj kai. to.n pate,ra kai. to.n ui`o.n e;ceiÅ 10 ei; tij e;rcetai pro.j u`ma/j kai. tau,thn th.n didach.n ouv fe,rei( mh. lamba,nete auvto.n eivj oivki,an kai. cai,rein auvtw/ mh. le,gete\ 11 o` le,gwn ga.r auvtw/ cai,rein koinwnei/ toi/j e;rgoij auvtou/ toi/j ponhroi/jÅ 12 Polla. e;cwn u`mi/n gra,fein ouvk evboulh,qhn dia. ca,rtou kai. me,lanoj( avlla. evlpi,zw gene,sqai pro.j u`ma/j kai. sto,ma pro.j sto,ma lalh/sai( i[na h` cara. h`mw/n peplhrwme,nh h=Å 13 VAspa,zetai, se ta. te,kna th/j avdelfh/j sou th/j evklekth/jÅ

Terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia (TB LAI).

2 John 1:1 Dari penatua kepada Ibu yang terpilih dan anak-anaknya yang benar-benar aku kasihi. Bukan aku saja yang mengasihi kamu, tetapi juga semua orang yang telah mengenal kebenaran, 2 oleh karena kebenaran yang tetap di dalam kita dan yang akan menyertai kita sampai selama-lamanya. 3 Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih. 4 Aku sangat bersukacita, bahwa aku mendapati, bahwa separuh dari anak-anakmu hidup dalam kebenaran sesuai dengan perintah yang telah kita terima dari Bapa. 5 Dan sekarang aku minta kepadamu, Ibu bukan seolah-olah aku menuliskan perintah baru bagimu, tetapi menurut perintah yang sudah ada pada kita dari mulanya supaya kita saling mengasihi. 6 Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya. Dan inilah perintah itu, yaitu bahwa kamu harus hidup di dalam kasih, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya. 7 Sebab banyak penyesat telah muncul dan pergi ke seluruh dunia, yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Itu adalah si penyesat dan antikristus. 8 Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu mendapat upahmu sepenuhnya. 9 Setiap orang yang tidak tinggal di dalam ajaran Kristus, tetapi yang melangkah keluar dari situ, tidak memiliki Allah. Barangsiapa tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak. 10 Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. 11 Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat. 12 Sungguhpun banyak yang harus kutulis kepadamu, aku tidak mau melakukannya dengan kertas dan tinta, tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan berbicara berhadapan muka dengan kamu, supaya sempurnalah sukacita kita. 13 Salam kepada kamu dari anak-anak saudaramu yang terpilih.

Pertanyaan Penelitian

Dalam pembacaan teks Firman Tuhan dalam Surat II Yohanes, terdapat beberapa pertanyaan yang timbul dalam pemikiran penafsir, antara lain:

Mengapa Yohanes memberi penekanan kepada perintah untuk saling mengasihi?
Mengapa Yohanes begitu kuatir terhadap ajaran guru-guru palsu?
Apa artinya tinggal di dalam ajaran Kristus?

Beberapa daftar pertanyaan diatas merupakan acuan bagi penafsir untuk melakukan penafsiran dalam makalah ini. Dan diharapkan melalui tafsiran ini, akan didapatkan jawaban-jawaban yang akan semakin menguatkan pertumbuhan iman.

TAFSIRAN SURAT II YOHANES

Analisis

Ayat 1.

Pendahuluan ini mengandung alamat (1, 2) dan salam (3). Disini penulis tidak menyebukan nama pribadinya, seperti biasanya dalam surat-surat Paulus, tetapi dengan memakai “penatua”, ~O presbu,teroj, (nominatif).[1] Ini bukti bahwa dia mengenal pembacanya. Dia tidak ragu bahwa mereka akan segera mengetahui identitasnya dari judul tersebut, yang memberi kesaksian kepada otoritasnya.[2] Pandangan lain mengatakan bahwa “penatua”, tidak berupa bentuk jamak, kalau bentuk tunggal hampir tidak digunakan sebagai judul yang resmi. Karena bagi lembaga penatua, yang penting[3] adalah karakter pendidikannya.[4] Menurut Barclay, “penatua” dapat mempunyai tiga arti yang berbeda-beda. Pertama, ia dapat berarti sekedar “seorang yang lebih tua”, seorang yang karena alasan umur dan pengalaman memperoleh penghormatan. Kedua, sesuai dalam Perjanjian Baru bahwa para penatua adalah “pejabat-pejabat gereja lokal.” Merekalah pertama-tama penatua, pejabat gerejawi, dan Paulus menahbiskan penatua-penatua dalam gereja-gereja mereka pada perjalanan pekabaran Injilnya (Kis. 14:21-23). Ketiga, para penatua merupakan mata rantai langsung antara generasi ke dua orang-orang Kristen. Tidak diragukan bahwa dalam pengertian inilah kata itu dipergunakan di sini. Penulis surat ini adalah satu dari mata rantai terakhir dengan Yesus Kristus dan di dalamnya terletak haknya untuk berbicara. [5]

Suratnya dialamatkan kepada “ibu yang terpilih”, evklekth/ kuri,a, (Elekta Kuria). Para komentator memiliki pandangan yang berbeda, apakah kata ini mengarah kepada seorang individu atau personifikasi gereja. Stott sendiri memberi komentar jika ini adalah seorang wanita yang bernama ‘Electa’. J. Rendel Harris (Clement of Alexandria, 1901), bagaimana dengan ayat 13, dimana ia mempunyai saudara perempuan yang bernama Electa juga! Kemudian sebutan Kyria”, (kuri,a) dimana Yohanes menyebutkannya sebagai yang “terpilih” (chosen, NIV), sedangkan dalam kasus ini, kata sifat (adjective) mungkin sudah didahului oleh artikel kata sandang, seperti dalam 3 Yoh. 1 (the beloved, RSV,tw/ avgaphtw/), ayat 13 dan Rm. 16:13. Ketiga ini mengandung resiko untuk dipakai sebagai kata yang tepat dengan panggilan “Electa Kyria.” Gagasan ini semuanya tidak mungkin. Jika penerimanya adalah pribadi, dia tidak ragu dengan sebuah nama samaran “ibu yang terpilih”. Ketiadaan artikel mengkonfirmasi ini dan hampir banyak mengidentifikasikan ini sebagai Maria, ibu Tuhan (Yoh. 19:27) atau Martha, dalam bahasa Aram, Martha: keduanya berarti nyonya.[6]

“Anak-anak”, te,knon, (datif), adalah anggota gereja dalam hal ini untuk penggunaan dari sebuah gambaran kumpulan yang menunjukkan anggota yang terpilih seperti kata “pengantin” dan “tamu” dalam Wahyu 19:7,9).[7] Kemudian kalau ini menyangkut personifikasi gereja, “terpilih” seperti tulisan Petrus dalam 1 Ptr. 1:1-2 , maka mestilah ini adalah salah satu gereja dia Asia. Pernyataan gereja sebagai “ibu yang terpilih”, memerlukan alasan-alasan yang bijaksana.[8] Barclay[9] dan Schnakenburg[10] sepertinya lebih menyetujui pandangan terakhir ini.

Ayat 2.

Ayat ini dimulai dengan kalimat “oleh karena kebenaran”, dia. th.n avlh,qeian, (because of the truth, RSV), artinya bahwa Yohanes dan semua anggota Kristen lainnya mengasihi gereja ini bukan “demi kebenarannya” (for the truth's sake, KJV). “Kebenaran” adalah dasar dari timbal balik kasih orang Kristen.[11] Kebenaran disini juga berarti realitas Ilahi yang selalu bersama kita (1 Yoh. 1:8; 2:4), dan seperti “hidup” (1 Yoh. 3:15) dan bahkan Roh Kebenaran itu sendiri (1 Yoh. 14:17b). oleh sebab itu “kebenaran” diekspresikan dalam doktrin dan konfesi, kewajiban dari orang-orang percaya “untuk tinggal di dalamnya” (ay. 9), me,nousan, (partisip atributif) yang dilanjutkan dengan e;stai (akan) bentuk future.[12] Artinya kebenaran ini akan memenuhi orang dengan kebijaksanaan Ilahi, berdiam “selamanya” (Yoh. 14:16). Preposisi meta, meqV, ‘with’, (menyertai), membuat kata “kebenaran” kelihatannya hampir dipersonifikasikan.[13]

Ayat 3.

Yohanes dalam ayat 3 ini melanjutkan dengan pengulangan “akan menyertai kita”, e;stai meqV h`mw/n.[14] LAI menempatkan kalimat ini di bagian akhir. Ini merupakan sebuah kalimat penegasan, e;stai yang seharusnya diterjemahkan bukan sebagai sebuah doa, tetapi suatu deklarasi.[15] Lalu kata yang mengikutinya adalah “kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera”, ca,rij e;leoj eivrh,nh. Seluruh ayat ini merupakan contoh yang indah dari cara orang-orang Kristen untuk memulai kata salam dalam permulaan tulisan. Penulis menginginkan para pendengarnya untuk menerima charis (kasih karunia), dan ini kelihatannya sudah menjadi umum diantara orang-orang Kristen mula-mula. Biasanya formula yang dipakai Paulus, dua yaitu “kasih karunia dan damai sejahtera”, tetapi penulis disini menggunakan tiga, yaitu “kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera”. Barangkali ini seperti sebuah kombinasi dari kata salam Yahudi, “kasih karunia dan damai sejahtera” (Gal. 6:16; Yud. 2). Charis (kasih karunia) dalam Perjanjian Baru sering digunakan menyangkut berkat-berkat dari keselamatan, eleos (rahmat) adalah anugerah Allah yang menjamin keselamatan melebihi penghukuman kita (Ef. 2:4; Tit. 3:5); eivrh,nh (damai sejahtera) adalah keselamatan Mesianis (Yes. 52:7). [16] Untuk bagian ini, Stott menambahkan bahwa “kasih karunia dan rahmat” adalah ekspresi dari kasih Allah, kasih karunia untuk kesalahan dan ketidaklayakan, rahmat untuk kebutuhan dan ketidakberdayaan.[17]

“Dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa”, para. qeou/ patro.j kai. para. VIhsou/ Cristou/ tou/ ui`ou/ tou/ patro.j, ini hampir sama dengan penggunaan Paulus, meskipun dalam manuskrip menghilangkan kata “Tuhan’(RSV), sementara KJV menerjemahkannya, “from the Lord Jesus Christ”; Yohanes tetap menambahkan kata “Anak Bapa” sebagai penunjukan kepada Kristus, artinya bahwa Yesus tidak hanya Kristus sebagai Mesias, tetapi juga “Anak Bapa”. Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera yang Yesus Kristus bawa dari Allah, adalah sesuatu yang dunia tidak ketahui (Yoh. 14:27). Ini mengimplikasikan bahwa Anak Bapa telah diutus ke dalam dunia untuk menjadi Pemberi dan Pengantara dari berkat-berkat keselamatan Ilahi.[18] Selain itu, Yohanes sudah akrab dengan tekanan teologi seperti ini, bahkan dengan preposisi “dari” (para),[19] seakan-akan menekankan kesamaan Anak dengan Bapa sebagai sumber berkat.[20] Yohanes begitu pasti akan pemberian-permberian anugerah Allah dalamYesus Kristus, sehingga ia tidak berdoa agar para sahabatnya menerimanya; ia menjamin bahwa mereka akan menerimanya.[21]

“Dalam kebenaran dan kasih”, evn avlhqei,a kai. avga,ph. Menurut Snackenburg, ini adalah tambahan yang berlebih-lebihan (tidak berguna), maka tidak perlu diaplikasikan sebagai tindakan berkat dari Allah. Mungkin ini bertujuan untuk menghasilkan efek berkat Ilahi yang telah dimiliki oleh orang-orang percaya.[22] Berbeda dengan Stott, dia mengartikan bahwa orang percaya telah mengalami kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Bapa dan Anak hanya jika mereka tinggal dalam kebenaran dan kasih, atau akan mengekspresikan diri mereka sendiri, menghasilkan diri mereka dalam kebenaran dan kasih. Kebenaran dan kasih adalah tanda-tanda esensial dari kehidupan Kristen.[23] Barclay menambahkan bahwa Agape, avga,ph adalah kata bagi kasih Kristen dan bukanlah kegairahan, dan nafsu melainkan kehendak baik yang senantiasa mencari kebaikan tertinggi dari orang lain dan mau menerima segala kesulitan. Orang Kristen harus saling mengasihi sebab ia dikasihi.

Ayat 4.

“Bersukacita”, VEca,rhn, (aorist passive tetapi arti aktive), ini menandakan bahwa merupakan suatu kebahagiaan[24] bagi Yohanes ketika mengetahui bahwa beberapa dari anggotanya berjalan dalam kebenaran, yaitu bahwa meskipun mungkin terdapat perpecahan dalam gereja, namun terdapat satu jalan keluar yaitu kasih, yang merupakan “sebuah perintah baru” dari Tuhan Yesus. (Yoh. 13:34, 35).[25] “Berjalan dalam kebenaran”, peripatou/ntaj (partisip kata benda) evn avlhqei,a, (following the truth, RSV), artinya hidup dalam kebenaran termasuk percaya akan sentral kebenaran dari inkarnasi, taat dan menerapkannya dalam kehidupan.[26] Dan ini menunjukkan cara hidup yang murni, sesuai dengan sifat anak-anak Allah yang sesungguhnya, tambah Scnackenburg.[27]

Berjalan dalam kebenaran adalah perintah yang “telah di terima dari Bapa”, evla,bomen (aorist) para. tou/ patro,j. “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” (Yoh. 14:15). Artinya jika seseorang tidak mengasihi sesama adalah sama dengan tidak mengasihi Allah, termasuk inkarnasi Yesus. Allah tidak menampakkan kebenaran-Nya dengan cara membiarkan kita bebas pada kemauan kita untuk percaya atau tidak percaya, taat atau tidak taat. Perintah datang bersama dengan tanggung jawabnya, dan semakin jelas perintah, semakin besar tanggung jawab untuk percaya dan mentaatinya;[28] seperti yang dikatakan dalam kitab Amos, "Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala kesalahanmu.” (Amos 3:2).

Ayat 5.

“Sekarang”, nu/n, adalah masa temporal (1 Yoh. 2:28), kata ini menggantikan frase aorist dari “aku sangat bersukacita” (ay. 4), dan dilanjutkan dengan formula lengkap, “aku minta kepadamu”, yang mengindikasikan bahwa “penatua” disini sedang masuk ke dalam hati pendengarnya.[29]

“Seolah-olah aku menuliskan”, gra,fwn (partisip cara).[30] Disini Yohanes kembali menekankan untuk “saling mengasihi”, avgapw/men (object) avllh,louj. Menjadi seorang Kristen adalah percaya dalam Kristus dan saling mengasihi (1 Yoh. 3:23). Jika kita menyangkal Anak dan tidak mengasihi, maka kita tidak mengenal Allah (1 Yoh. 5:1; 4:7).[31] “Saling mengasihi”, merupakan tipe tulisan Yohanes dari gaya dan pemikiran. Dia menggunakan kata yang sama dalam 1 Yoh. 2:7, dimana dia menerangkan sesuatu yang mereka telah miliki “dari mulanya”, avpV avrch/j yaitu firman yang telah mereka dengar (imperfect).[32]; barangkali seperti yang diucapkan oleh Yesus dalam Yoh. 13:34; 15:12, 17, atau kembali kepada pengalaman mereka yang mula-mula sekali.[33]; bahwa mereka harus membuktikan kasihnya kepada Allah dengan kasih kepada saudara-saudara sesama.[34] Betapa menyenangkan hal tersebut yang mana berlawanan dengan mereka yang tidak beragama, tidak setia dan yang berbuat jahat.[35]

Ayat 6.

Ayat ini didahului dengan kata ganti penunjuk (demonstrative), ‘dan’, kai, dengan ‘bahwa’, i[na (dua kali). “Dan inilah kasih itu… bahwa kamu harus hidup di dalam kasih”. Dalam ayat 5, penulis telah berbicara mengenai “perintah” dan “kasih”. Sekarang dia mengambil kedua gagasan ini lagi, secara terbalik dan menerjemahkan yang satu kepada pokok lainnya. Mengasihi adalah hidup sesuai dengan perintah Allah (ay. 4); dan inilah perintah yang sesuai dengan hidup orang-orang percaya.[36]

“Kita harus hidup menurut perintah-Nya”, i[na peripatw/men kata. ta.j evntola.j auvtou. Frase ini telah dikombinasikan Yohanes secara terbuka dalam dua konsep, dimana yang satu menerangkan yang lainnya. “Hidup”, (walking, berjalan, KJV), artinya patuh kepada perintah (sesuai dengan perintahNya, ay. 4).[37] Dua perintah yang terdapat dalam ayat ini yaitu “hidup menurut perintah dan hidup dalam kasih”, dalam Yunani merupakan bentuk feminine, auvth/, yang berhubungan satu dengan lainnya, tetapi lebih mengarah kepada kata “kasih”. Kasih dinyatakan dalam ketaatan dan ini sudah “kamu dengar dari mulanya”, hvkou,sate, (aorist). Jika kita mengasihi Allah atau Kristus, kita akan menunjukkannya dengan memelihara perintahNya (Yoh. 14:15, 21).[38] Kemerdekaan dalam Kristus bukan membuat kita bebas untuk melanggar perintahNya. “Aku hendak hidup dalam kelegaan, (liberty, RSV) sebab aku mencari titah-titahMu.” (Mzm. 119:45)

Ayat 7.

Dengan memulai penjelasan dari kata {Oti, hoti (‘for’), Yohanes menunjukkan bahwa dia sudah memiliki pandangan yang berhubungan dengan guru-guru palsu.[39] Yohanes telah menulis dalam surat pertamanya bahwa “banyak nabi-nabi palsu” yang pergi ke seluruh dunia. (1 Yoh. 4:1), dan disini dia menyebutnya “banyak penyesat”, polloi. pla,noi, meskipun bentuk aorist tetapi menerangkan bahwa hal ini “sedang telah pergi ke seluruh dunia”, evxh/lqon eivj to.n ko,smon ‘telah masuk ke dalam dunia’ (entered into the world, KJV). Ini merupakan penekanan akan kenyataan bahwa inkarnasi telah terjadi. Yesus senantiasa datang dalam daging dan itu bukan suatu tindakan yang berakhir selama Yesus melayani di bumi, tetapi sampai sekarang Yesus Kristus senantiasa masuk ke dalam situasi manusia dan ke dalam kehidupan manusia.[40]

Kata kerja evxh/lqon, exeltan, (aorist), dapat diartikan bahwa mereka telah meninggalkan gereja, sama halnya dengan kalimat, Anak telah “meninggalkan” (gone out) Bapa masuk ke dalam dunia (Yoh. 7:29) dan telah mengutus (sent forth) para rasul ke dalam dunia (Yoh. 17:18). Barangkali implikasinya adalah seperti para rasul telah diutus ke dalam dunia untuk memberitakan kebenaran, maka demikian pula para penyesat atau guru-guru palsu pergi untuk memberitakan kebohongan, seperti utusan iblis, bapa dari segala dusta.[41] Para penyesat ini muncul dan mereka “tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia.” “Tidak mengaku”, mh. o`mologou/ntej, (acknowledge, NIV), artinya bahwa “Yesus adalah Kristus” (1 Yoh. 2:22), yang sama artinya dengan mengenalNya sebagai Anak (1 Yoh. 2:23). Pengakuan yang sempurna adalah bahwa Dia “telah datang dalam daging” (coming in the flesh – l Yoh. 4:2, NIV), yang menggunakan bentuk perfecl, evlhluqo,ta (eleluthota). Hal ini bisa juga dibandingkan dengan 1 Yoh. 5:6 yang memakai bentuk aorist, o` evlqw.n, (ho elthon). Sementara dalam ayat ini memakai bentuk present, evrco,menon (erchomenon), artinya bahwa hal ini juga mengarah kepada yang akan datang. Inkarnasi tidak hanya satu peristiwa dalam sejarah. Ini adalah kebenaran yang kekal. (Brooke). Dua natur dari Yesus yaitu ke-Manusia-an dan ke-Allah-an, disatukan dalam kelahiran-Nya, dan tidak pernah bisa dibagi-bagi.[42]

Kata sandang ou-to,j (itu), adalah singular yang menunjuk kepada predikat seorang penyesat dan antikris, yang menunjuk keterangan kepada satu atau dua figur eskatologi. Karena sebelumnya Yohanes sudah berbicara tentang “banyak penyesat”, maka ini lebih mungkin mengarah kepada antikristus. Tradisi yang sudah dikenal oleh penulis (Yohanes) tentang masa eskatologi adalah seseorang tentang antikristus. (1 Yoh. 2:18; 4:3).[43] Tetapi Stott berpendapat, bahwa ini adalah guru-guru palsu yang memiliki dua tujuan yaitu untuk “menyesatkan” (1 Yoh. 2:26) dan sebagai “antrikris” (1 Yoh. 2:18, 22). Kedua gagasan ini dibawa bersama-sama.[44]

Ayat 8.

“Waspadalah”, ble,pete, (imperative – look to yourselves, KJV), ini adalah peringatan eskatologikal.[45] Kata kerja disini sama seperti dalam Mrk. 13:23 (hati-hatilah kamu), dimana peringatan dari Yesus dinyatakan.[46] “Kami kerjakan”, eivrgasa,meqa, metafor dalam ayat ini diambil dari pekerjaan fisik yang kuat (have worked for, KJV). Para pembaca tidak akan kehilangan apa yang telah mereka kerjakan begitu keras,[47] artinya tidak akan kehilangan upah (Mrk. 9:41; Mat. 10:42). Dalam Yoh. 6:27-29, kata “bekerja” digunakan untuk keinginan percaya. Dan kelihatannya Yohanes dalam ayat ini menggunakan metafor seperti dalam Injil Yohanes dimana pernyataannya dibalikkan secara positif.[48] Mereka tidak dapat untuk santai dalam kewaspadaan mereka. Kewaspadaan ini diberikan secara negatif dan positif. Secara negatif yaitu “supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu”, dan secara positif “supaya kamu mendapat upahmu sepenuhnya.”[49].
“Mendapat upah”, avpola,bhte, (aorist subject); “upah”, misqo.z, adalah gaji pekerja. Yohanes mungkin berpikir dari dirinya dan mereka sebagai ‘pekerja di ladang Tuhan’, yang mana dalam kasus ini dia ingin agar mereka tidak seharusnya mundur dan dengan demikian menerima “kurang dari upah sehari” (Smith).[50] Snackenburg menambahkan bahwa tidak diragukan ini artinya adalah persekutuan dengan Anak dan Bapa (ay. 9b). Kemudian upah yang penuh adalah kehidupan kekal yang dijanjikan kepada orang-orang percaya (1 Yoh. 2:25; Yoh. 6:27).[51]

Ayat 9.

“Yang tidak tinggal”, proa,gwn, [52] (transgresseth, KJV, ‘melewati, melampaui’, runs ahead, ‘lari melampaui’, NIV), artinya mereka tidak puas dengan “ajaran Kristus”, melainkan ingin pengetahuan yang lebih tinggi dalam tipe gnostik. Yesus berbicara tentang “pengajaran” dalam Yoh. 7:16. Dia ditanyai oleh imam-imam besar “tentang pengajaranNya” (Yoh. 18:19). Artinya bahwa ayat ini berbicara tentang pengajaran yang diberikan oleh Kristus sendiri (subjective genetive).[53] “Setiap orang” yang menyangkal Kristus dengan demikian kehilangan Allah. Dia tidak dapat “memiliki” Allah, artinya menikmati persekutuan denganNya.[54] “Barangsiapa tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak”. “Ajaran”, didach/, ‘doktrin’. Barclay mengatakan bahwa bagaimanapun jauhnya seseorang dapat maju, ia harus tetap berada dalam ajaran (atau doktrin) Yesus Kristus[55] sebab kalau tidak, maka ia akan kehilangan kontak dengan Allah. Yesus Kristus harus menjadi batu ujian dari segala pemikiran, kaena Dia bukan suatu theosofi yang bersifat kabut dan tidak terkontrol, tetapi berlabuh pada tokoh historis Yesus Kristus.[56] Gagasan ini sudah ditulis dalam 1 Yoh. 2:23. Penempatan dari “memiliki Allah” (9a) dengan “memiliki Bapa dan Anak” sekali lagi ini muncul dari keyakinan Yohanes bahwa persekutuan dengan Allah dapat dicapai melalui Anak (1 Yoh. 2:23; 5:12). Ini merupakan inti dan kepentingan yang krusial dari seluruh surat ini.[57] Yohanes menggunakan bahasa yang kedengarannya mistis dalam menjelaskan kehidupan Kristen. Salah satu istilah khasnya kurang lebih bermakna “tetap tinggal”. Orang percaya harus “tetap tinggal” di dalam Allah (1 Yoh. 2:24); di dalam Kristus (1 Yoh. 2:5,6); di dalam terang (1 Yoh. 2:10) dan di dalam ajaran yang benar dalam ayat ini. Sedangkan orang yang tidak percaya itu tetap tinggal di dalam maut (1 Yoh. 3:14).[58]

Ayat 10.

Kata “datang”, e;rcetai, sering dipakai Yohanes dalam surat-suratnya untuk “kedatangan” Yesus (1 Yoh. 4:2) dan antikris (2:18). Dalam ayat ini “pendekatan” ditujukan kepada guru-guru palsu dan nabi-nabi palsu.[59] Karena keselamatan para pendengar dalam keadaan bahaya (ay. 8), maka Yohanes menulis surat ini karena dia kuatir, para guru-guru palsu akan datang tanpa diduga.[60]

Yohanes tahu bahwa betapa seriusnya konsekuensi kesalahan dari para guru-guru palsu yang menyebabkan para pengikutnya kehilangan Bapa dan Anak, maka dia tidak hanya mendesak para pembacanya untuk memperhatikan diri mereka sendiri tetapi juga untuk memerintahkan mereka bagaimana cara melayani nabi-nabi palsu yang sedang “masuk ke dalam dunia (ay. 7, KJV), yaitu “jangan menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya.”[61] “Menerima”, lamba,nete, disini berbicara tentang roh atau Injil yang berbeda dari yang murni diterima oleh orang-orang Kristen di Korintus. Sementara “rumah”, oivki,an, ini lebih mungkin ditujukan kepada komunitas yang sering berkumpul untuk ibadah. (Rm. 16:5; 1 Kor. 16:19; Kol. 4:15).[62]

Mereka tidak boleh diberikan keramah-tamahan karena ini merupakan jalan yang efektif untuk menghentikan pekerjaan mereka. Demikian juga tidak boleh memberikan salam karena gereja tidak mempunyai toleransi terhadap mereka yang ajaran-ajarannya menghancurkan gereja.[63] Jika demikian halnya, bukankah orang-orang percaya diajarkan untuk berbuat kasih dan ramah tamah kepada sesama? ( 1 Yoh. 3:23; 2 Yoh. 4-6). Kalau Smalley berpandangan bahwa Yohanes sebenarnya tidak melarang individu untuk beramah tamah kecuali masuk ke dalam jemaat resmi.[64] Berbeda halnya dengan Elwell, dia mengatakan bahwa kasih dan kebenaran tidak dapat dipisahkan. Keduanya motif (ay. 9) dan perbuatan (ay. 10) dari para guru-guru palsu itu adalah jahat.[65]

Ayat 11.

“Salam”, cai,rein, (greeting, full of cheer, happy, KJV). Dalam pandangan Yahudi, salam adalah sesuatu yang lebih daripada hanya formalitas. Salam damai sama dengan berkat (Mat. 10:13). Itulah sebabnya Yohanes melarang para pembacanya karena biasanya orang-orang masuk dalam persekutuan dengan memberi salam. Para guru-guru palsu bergabung dengan niat perbuatan jahat mereka.[66] “Mendapat bagian”, koinwnei, (to share, partaker, KJV), dengan memberi salam kepada mereka, artinya berpartisipasi aktif dalam kesalahan mereka. Ini sama dengan “ambil bagian dengan roh-roh jahat” (1 Kor. 10:20), “ambil bagian dengan dosa-dosa orang lain (1 Tim. 5:22).[67]

“Perbuatan jahat”, e;rgoij ponhroij, (evil deeds, KJV) ini bukan hanya tindakan immoral secara umum (Yoh. 3:19) tetapi khususnya penyebaran kebohongan yang melawan Kristus.[68], atau menyangkut etika dengan menyangkal kepentingan akan kasih.[69] Perbuatan jahat, “wicked work, NIV), ponerois, muncul di akhir kalimat sebagai penekanan. Ini mungkin membawa jiwa kepada kebinasaan yang kekal, maka orang-orang percaya seharusnya tidak memberi dorongan kepada pekerjaan seperti ini.[70]




Ayat 12.

Setelah Yohanes menyajikan kepedulian utamanya, “dia berhenti menulis”, evboulh,qhn (aorist) karena dia ingin mengunjungi komunitas itu “muka dengan muka”. Ini bukan hanya sekedar ingin berbicara langsung, tetapi melibatkan hubungan pribadi antara penulis dan setiap anggota komunitas tersebut sebagai rasa saling mengasihi (ay.5), antara penatua dan para pembacanya.[71] Yohanes menyatakan bahwa dia tidak ingin mempercayai buah pikirannya di atas “kertas dan tinta”, dia. ca,rtou kai. me,lanoj, (secara literal artinya ‘papyrus’ dan ‘hitam’).[72] Berbicara “muka dengan muka”, sto,ma pro.j sto,ma, (secara literal, ‘mulut dengan mulut’; Bil. 12:8; Yer. 32:4), merupakan metode komunikasi yang lebih memuaskan daripada tulisan. Yohanes ingin mengatakan bahwa kedatangannya kepada mereka sebagai guru yang benar akan sangat berbeda dengan guru-guru palsu.[73]

“Supaya sempurnalah sukacita kita”, berkaitan dengan 1 Yoh. 1:4, “kita”, h`mw/n (hemon)[74]. Penulis hanya menunjuk kepada dirinya sendiri.[75] Sukacita yang sempurna (full, KJV, complete, RSV), adalah hasil dari persekutuan. Perjanjian Baru tidak mengenal sukacita yang sempurna diluar persekutuan dengan Bapa dan Anak (1 Yoh. 1:3,4).[76]

Ayat 13.

“The children of thy elect sister greet thee. Amen” (KJV). Surat ini disimpulkan dengan sebuah pesan salam dari “anak-anak saudaramu yang terpilih”, yaitu anggota jemaat perempuan dari gereja dimana Yohanes sedang menulis.[77] Yohanes kembali setelah “kepada kamu”, hymin, dalam ayat 12, kepada kata kiasannya “ibu” dan “anak-anaknya” dan dilanjutkan dengan berbicara kepada anak-anak saudara “perempuan”mu. Inilah anggota gereja yang setia dimana dia sedang tinggal.[78] Ibu yang terpilih adalah gereja yang rupanya Yohanes tulis kepada jemaat di Efesus. Ayat ini melarang penafsiran para komentator yang mengatakan bahwa ini ditujukan kepada gereja universal.[79] Kata ganti orang tunggal se (kamu) cocok dengan kata ganti tunggal “saudaramu”, th/j avdelfh/j, tetapi keduanya memiliki arti kolektif yaitu jemaat secara keseluruhan, dengan anggota-anggotanya.[80]

Sintesis

Setelah melakukan analisa kepada ayat-ayat diatas, maka sintesisnya adalah bahwa Yohanes ingin menegaskan kepada para pendengar untuk hidup dan tinggal dalam perintah Tuhan Yesus yaitu mengikuti ajaran yang benar antara lain saling mengasihi dan yang terutama percaya dan mengakui Yesus yang inkarnasi sebagai Manusia, yang mana hal ini ditolak oleh guru-guru dan nabi-nabi palsu. Bagi mereka yang tinggal dalam ajaran yang benar, maka mereka pun akan memiliki Anak maupun Bapa.

PENUTUP


Jawaban Atas Pertanyaan Penelitian

Jawaban untuk pertanyaan pertama, mengapa Yohanes memberi penekanan kepada perintah untuk saling mengasihi, yaitu bahwa jika seseorang tidak mengasihi sesama adalah sama dengan tidak mengasihi Allah, termasuk inkarnasi Yesus. Allah tidak menampakkan kebenaran-Nya dengan cara membiarkan kita bebas pada kemauan kita untuk percaya atau tidak percaya, taat atau tidak taat. Perintah datang bersama dengan tanggung jawabnya, dan semakin jelas perintah, semakin besar tanggung jawab untuk percaya dan mentaatinya. Jika kita menyangkal Anak dan tidak mengasihi, maka kita tidak mengenal Allah

Jawaban untuk pertanyaan kedua, mengapa Yohanes begitu kuatir terhadap ajaran guru-guru palsu yaitu bahwa seperti para rasul telah diutus ke dalam dunia untuk memberitakan kebenaran, maka demikian pula para penyesat atau guru-guru palsu pergi untuk memberitakan kebohongan, seperti utusan iblis, bapa dari segala dusta. Para penyesat ini muncul dan mereka “tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Yohanes ingin agar para pembaca tidak akan kehilangan apa yang telah mereka kerjakan begitu keras, artinya tidak akan kehilangan upah.

Jawaban pertanyaan ketiga yaitu apa artinya tinggal di dalam ajaran Kristus, yaitu setiap orang yang menyangkal Kristus dengan demikian kehilangan Allah. Dia tidak dapat “memiliki” Allah, artinya menikmati persekutuan denganNya. Bagaimanapun jauhnya seseorang dapat maju, ia harus tetap berada dalam ajaran (atau doktrin) Yesus Kristus sebab kalau tidak, maka ia akan kehilangan kontak dengan Allah. Yesus Kristus harus menjadi batu ujian dari segala pemikiran, kaena Dia bukan suatu theosofi yang bersifat kabut dan tidak terkontrol, tetapi berlabuh pada tokoh historis Yesus Kristus.

Refleksi

Perintah untuk saling mengasihi merupakan respons dari kasih terhadap Anak maupun Bapa. Terlalu banyak orang-orang percaya masih sulit untuk melakukan perintah ini. Mungkin disebabkan oleh peradaban dunia yang semakin mengarah kepada individualisme. Sesungguhnya orang percaya harus sadar bahwa Iblis tidak diam untuk terus mempengaruhi iman mereka. Percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang inkarnasi menjadi Manusia bukan teologi yang dibuat-buat, tetapi merupakan fakta sejarah dan masa kini. Barangsiapa berjalan dalam ajaran yang benar ini, maka dia pantas untuk memiliki kehidupan kekal di dalam Tuhan Yesus.

DAFTAR PUSTAKA



Alkitab Terjemahan Baru. LAI. 2006.

Bible Electronic (KJV, RSV, NIV, Greek LXX/BNT, e-Sword).

Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes dan Surat
Yudas. (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 1990.

Drewes, B.F., Kunci Bahasa Yunani Perjajian Baru. (Jakarta : BPK Gunung Mulia),
2006

Elwel, Walter A., Evangelical Commentary on the Bible. (Grand Rapids : Baker Book
House), 1989.

Henry, Matthew, Concise Commentary on the Whole Bible. (Chicago : Moody Press),
t.th.
Howley, G.C.D., Bruce, F.F. & Ellison, H.L., The New Layman’s Bible Commentary.
(Grand Rapids : Zondervan Publishing House), 1979.

Ladd, George Eldon, Teologi Perjanjian Baru Jilid 2. (Bandung : Yayasan Kalam
Hidup), 1999.

Stott, John, R. W., The Letter of John. (Grand Rapids : Eerdmans), 1991.

Schnakenburg, Rudolf, The Johannine Epistle. (New York : Crossroad), 1992.

Smalley, Stephen S., Word Biblical Commentary – 1,2,3, John. (Texas : Word Books
Publisher), 1984.
[1] Ini tidak hanya menerangkan usia, tetapi posisi yang resmi. (Wescott).
[2] John R.W. Stott, The Letter of John. (Grand Rapids : Eerdmans, 1991), 200.
[3] “ho presbyteros” tidak pernah terjadi dimana pun untuk satu keanggotaan individu dari presbyterium; hanya di dalam 1 Ptr. 5:1 kita menemukan “ho sympresbyteros.” Episkopat mengembangkannya kepada kepemimpinan resmi seperti 1 Tim. 3:2; Titus 1:7. Selain itu, komite presbyter sangat berbeda dalam Yudaisme dan Helenisme, dalam fungsi (politik, perkumpulan, lembaga agama), dalam komposisi (sebutan kehormatan, bagian dari senioritas). Deissmann, Bible Studies, 153.
[4] Rudolf Schnakenburg, The Johannine Epistle. (New York : Crossroad, 1992), 277.
[5] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes dan Surat Yudas. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006), 228-230.
[6] Stott, The Letter of John, 200.
[7] Bruce G.C.D. Howley, dkk., The New Layman’s Bible Commentary. (Grand Rapids : Zondervan Publishing House, 1979), 1669.
[8] Stott, The Letter of John, 200.
[9] Lebih mungkin lagi bahwa surat ini ditujukan kepada “gereja.” Jauh lebih mungkin lagi bahwa itulah suatu gereja yang dicintai oleh semua orang yang mengenal kebenaran (ay. 1). Ayat 4 mengatan bahwa beberapa dari anak-anak itu berjalan dalam “kebenaran”. Dalam ayat-ayat 4, 8, 10, 12, kata engkau adalah jamak (kamu), yang makin menguatkan pandangan bahwa yang dimaksud di sini adalah gereja. Petrus mempergunakan hampir persis ungkapan yang sama ketika ia menyampaikan salam dari Yang Terpilih (bentuknya feminin) yang berada di Babilon (1 Ptr. 5:13). (Barclay, 230).
[10] Orang-orang percaya lebih menyukai dirinya disebut sebagai yang “terpilih”. Komunitas disamakan dengan seoang ibu yang mengasihi anak-anaknya (ay.4). Ini adalah bukti nilai yang khusus bahwa gereja mula-mula saling memberkati tiap komunitas. Ini dilakukan tanpa menggantikan gereja lokal dari seluruh gereja Tuhan. Anak-anak ini adalah komunitas yang beriman, dikasihi oleh penulis “dalam kebenaran”, dengan kata lain dalam integritas dan keramahan. (Schankenburg, 278-279).
[11] Stott, The Letter of John, 203.
[12] B.F. Drewes, Kunci Bahasa Yunani Perjajian Baru. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006), 355.
[13] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 280.
[14] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 280.
[15] Stott, The Letter of John, 203-204.
[16] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 280-281.
[17] Stott, The Letter of John, 204.
[18] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 281.
[19] Paulus sering memakai apo (dari) dalam salam pembukaan. (stott, 204).
[20] Stott, The Letter of John, 204.
[21] Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes, 233.
[22] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 281.
[23] Stott, The Letter of John, 204.
[24] Yohanes memulai pesannya dengan sebuah ekspresi ucapan syukur (stott, 205).
[25] Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes, 234.
[26] Stott, The Letter of John, 206.
[27] Scnakenburg, The Johannine Epistle, 282.
[28] Stott, The Letter of John, 206.
[29] Stephen S, Smalley, Word Biblical Commentary – 1,2,3, John. (New York : Crossroad, 1992), 324.
[30] Drewes, Kunci Bahasa Yunani Perjajian Baru, 355.
[31] Stott, The Letter of John, 206.
[32] Scnakenburg, The Johannine Epistle, 282.
[33] Stephen S, Smalley, Word Biblical Commentary – 1,2,3, John, 325.
[34] Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes, 235.
[35] Matthew, Henry, Concise Commentary on the Whole Bible. (Grand Rapids : Baker Book, 1989), 996.
[36] Smalley, Word Biblical Commentary – 1,2,3, John, 326.
[37] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 283.
[38] Stott, The Letter of John, 208.
[39] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 284.
[40] Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes, 236.
[41] Stott, The Letter of John, 208-209.
[42] Stott, The Letter of John, 209.
[43] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 284-285.
[44] Stott, The Letter of John, 210.
[45] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 285.
[46] Stott, The Letter of John, 210.
[47] To toil= bekerja keras (tugas, kedudukan), labor for (bekerja untuk). (Greek Dictionaris Elec.)
[48] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 285.
[49] Masing-masing dari tiga kata kerja dalam kalimat ini, antara yang pertama dan kedua pribadi jamak, “kami dan kamu”. Menurut Westcott dan Brooke versi AV, dengan menulis “which we have wrought”, ‘yang telah kami kerjakan’ adalah teks yang tepat. Di sisi lain, RSV membuat yang lebih baik, “what you have worked for”, karena metafor disini dianggap sebagai pembayaran upah pekerja (Mat. 20:8; Yoh. 4:36). (stott, 210).
[50] Stott, The Letter of John, 210.
[51] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 285
[52] Transgresseth diterjemahkan dengan Yunani, parabainon., tetapi dalam ayat ini lebih tepat proagon, dalam RSV diterjemahkan ‘goes ahead’, ‘melangkah maju’, karena ini adalah pandangan superioritas dari gnostik. Yohanes mengarah kepada klaim mereka secara tajam. Pengikut gnostik telah maju terlalu jauh dan mereka telah meninggalkan Allah di belakang. (Stott, 211).
[53] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 286.
[54] Stott, The Letter of John, 211.
[55] Barangsiapa yang melangkah jauh adalah ibarat guru-guru yang “maju” (ay. 7) dan barangkali Diotrefes dari 3 Yoh. 9, kontras denagn mereka yang tinggal dalam injil yang murni, yaitu ajaran Kristus yang mengakui kedatanganNya dalam daging. (Howley, 1669).
[56] Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes, 239.
[57] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 286.
[58] George, Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru Jilid 2,. (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1999), 438.
[59] Smalley, Word Biblical Commentary – 1,2,3, John, 333.
[60] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 287.
[61] Stott, The Letter of John, 212.
[62] Smalley, Word Biblical Commentary, 333.
[63] Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat-Surat Yohanes, 240.
[64] Smalley, Word Biblical Commentary, 333.
[65] Walter A, Elwel, Evangelical Commentary on the Bible. (Grand Rapids : Baker Book House, 1989), 1189.
[66] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 287.
[67] Smalley, Word Biblical Commentary, 334.
[68] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 287.
[69] Smalley, Word Biblical Commentary, 334.
[70] Stott, The Letter of John, 215.
[71] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 288.
[72] Smalley, Word Biblical Commentary, 335.
[73] Stott, The Letter of John, 215.
[74] Genitive plural of (or from) us: - our (company), us, we. (Greek Dictionaries elect.)
[75] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 289.
[76] Stott, The Letter of John, 215.
[77] Stott, The Letter of John, 215.
[78] Schnakenburg, The Johannine Epistle, 289.
[79] Howley, The New Layman’s Bible Commentary, 1660.
[80] Smalley, Word Biblical Commentary, 336.

PROFIL KEPEMIMPINAN NABI NEHEMIA

PENDAHULUAN

Nehemia adalah salah seorang pemimpin yang menginsipirasikan dalam Alkitab. Terkadang metode-metodenya kelihatan tidak masuk akal, namun metode-metode tersebut digunakan oleh Tuhan untuk menghasilkan reformasi dalam kehidupan bangsa Israel dalam waktu yang singkat. Analisis atas kepribadian dan metode-metodenya mengungkapkan bahwa metode-metode yang dipakainya efektif hanya karena kualitas karakternya sendiri.

Setelah penulis membaca kitab Nehemia, profil yang bisa dipelajari adalah bahwa Nehemia seorang yang tekun berdoa di mana hal tersebut menunjukkan kerendahan hati. Nehemia juga seorang yang memiliki keberanian dalam menghadapi bahaya, peduli dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan orang lain, memiliki visi, dan dapat mengambil keputusan dengan jelas serta seorang yang realis.

Dari beberapa profil Nehemia tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Nehemia pada abad terdahulu, dapat dijadikan sebagai salah satu contoh bagi kemajuan calon pemimpin Kristen hebat pada masa sekarang ini. Semoga.

PROFIL KEPEMIMPINAN NABI NEHEMIA

INTEGRITAS

Nehemia adalah orang yang tekun berdoa. Bagi Nehemia, doa merupakan bagian sehari-hari dari hidup dan bekerja. Doa adalah reaksi pertamanya begitu mendengar kesulitan para emigran di Yerusalem. Nehemia juga bukan orang asing di takhta kasih karunia (Nehemia 1:4, 6; 2:4, 9; 5:19; 6:14, 22, 29).[1]

Seorang pemimpin Kristen yang efektif haruslah seorang yang sudah lahir baru dalam Kristus, yang bersih dalam hal moral, dan menjaga kebenaran menurut standar Tuhan.[2] Kristus datang ke dunia ini untuk membawa manusia dari kegelapan menuju terang. Kegelapan telah melingkupi watak dan karakter manusia karena Iblis yang senantiasa terus berusaha untuk merusak moral manusia. Tidak mengherankan kalau ternyata pada abad sekarang ini sudah terlalu banyak para pemimpin Kristen maupun non-Kristen yang menyakiti hati rakyatnya dengan tidak peduli lagi akan keadilan dan kesejahteraan. Salah satu sifat penting dari kepemimpinan Kristen yang efektif adalah kemampuan untuk menyesuaikan bentuk kepribadian seseorang dengan situasi tertentu.[3] Karakter dan moral yang sudah mulai rusak harus dipulihkan melalui persekutuan dengan Tuhan Yesus supaya kembali bersih dan dilayakkan untuk menjadi seorang pemimpin umat manusia.
Nehemia adalah seorang pendoa karena dia sudah lahir baru. Kebijaksanaan dan hikmat bersumber dari Allah. Sesungguhnya agar dapat memimpin atau memberi pengaruh secara rohani kepada orang lain, seseorang harus memperdalam hubungannya dengan Tuhan.[4] Komunikasi yang dijalin terus menerus dengan Allah merupakan suatu hubungan yang bersifat supranatural yang dapat menghasilkan perubahan kepada para pemimpin dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Kalau seorang pemimpin putus hubungan dengan Allah serta orang-orangnya, ia kehilangan sifat mau diajarnya.[5]

Orang Kristen yang bijaksana adalah orang yang memiliki pandangan yang tepat mengenai anugerah Tuhan. Paulus menekankan hal ini ketika dia menulis kepada Titus:
Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini (Tit. 2:11, 12).

Seorang pemimpin yang bijaksana adalah orang yang suka berdoa. Seorang pemimpin yang bijaksana akan berlutut dalam penyembahan yang penuh doa dan kerendahan hati lalu naik ke suatu tingkatan yang baru dalam hal hidup kudus dan benar.[6] Petrus mengatakan hal ini ketika dia menasihatkan pengikut-pengikutnya: “Kuasailah dirimu (bijaksanalah) dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.” (1 Ptr. 4:7).

Yang menjadi salah satu tantangan besar bagi banyak pemimpin Kristen adalah menggunakan kepemimpinan yang tegas. Kebanyakan dari pemimpin Kristen memiliki hati yang lembut dan ingin menunjukkan belas kasih serta cinta seperti seorang hamba. Meskipun dalam kepemimpinan dalam gereja, namun gereja pun adalah medan perjuangan rohani dan sering kali memerlukan kekuatan kepemimpinan yang tidak lazim di dunia sekular.

Mungkin konflik dalam pelayanan merupakan suatu fakta, tetapi tidak seharusnya menjadi tak tertangani.[7] Agar para pemimpin dapat bertahan, mereka harus memandang kesulitan sebagai hal biasa, yang kompleks sebagai normal.[8] Alkitab mencatat bahwa Tuhan Yesus sendiri datang untuk merobohkan dinding permusuhan. Dia melakukan yang terbaik untuk mempersatukan orang-orang. Dalam Efesus 2:14, “Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak, dan yang telah merobohkan tembok pemisah, yaitu perseturuan.” Dia menyadari bahwa Dia tidak dapat dan memang tidak memenangkan mereka semua. Sementara itu, keinginan-Nya untuk mendatangkan kedamaian bagi semua manusia membuat Dia harus mengorbankan nyawa-Nya, dan itu merupakan tujuan yang berharga dan tetap demikian sampai hari ini untuk kita semua yang memimpin.

Karakter kepemimpinan Kristen adalah kesaksian dan pelayanan yang digerakkan oleh belas kasih Allah. Dengan sendirinya menuntut kerendahan hati, kesediaan berkorban, pengosongan diri, penyangkalan diri, kerelaan mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri.[9]

Nehemia seorang yang realis. Dia tahu bahwa akan banyak tantangan yang akan dihadapinya di saat dia memimpin pembangunan kembali tembok Yerusalem (4:1-3). Nehemia merendahkan diri di hadapan Tuhan Allah dan meminta pertolongan. (4:4-5). Seorang pemimpin pasti akan berhadapan dengan orang-orang yang menentang usul untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Konflik muncul ketika pemimpin harus membuat suatu pilihan.[10]

Seorang pemimpin harus memiliki kerendahan hati, realistis bahwa dia bukanlah Tuhan yang sanggup membuat keputusan yang tepat. Dia harus mampu meminta saran-srang yang dapat memberi ilham. Salomo mengatakan, “Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasehat banyak.” (Amsal 15:22). Seorang yang bejaksana menyadari bahwa ia mempunyai pengertian yang terbatas. Ia mengetahui bahwa membutuhkan pertolongan. Ada manfaat jika kita mengajak orang lain untuk membicarakan mengenai keputusan yang akan diambil.[11]
Kerja sama yang lebih besar dalam melaksanan keputusan itu jika orang mengetahui bahwa mereka mempunyai andil di dalam proses pengambilan keputusan itu.
Memperoleh lebih banyak keterangan yang akan dipertimbangkan jika lebih dari satu orang.

Tuhan memanggil kita pada suatu jenis kepemimpinan yang lain di antara umat-Nya – suatu pendekatan di mana para pemimpin hadir untuk melayani. “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Markus 10:43-44). Kepemimpinan pelayan bersumber dari serangkaian nilai, asumsi dan prinsip yang bertentangan dengan dunia sekuler.[12]
Integritas berhubungan dengan nilai. Nilai adalah dasar prinsipil subjektif yang berakar dari pengalaman-pengalaman khas yang nyata dan pengaruh yang diturunkan yang kemudian dibakukan sehingga menjadi prinsip atau filsafat hidup, yang berperan sebagai landasan bagi paradigma, perspektif, cara menalar, serta motivasi, yang dengan sendirinya mengendalikan kebiasaan, sikap dan tindakan. Nilai-nilai dengan sendirinya menentukan kadar dan bobot bagi etika, moral, kebiasaan, sikap serta perilaku setiap orang. Nilai turut mempengaruhi visi pribadi dan visi kepemimpinan setiap orang.[13]

Nehemia memiliki nilai khas dalam dirinya.[14] Dia seorang yang peduli kepada orang lain. Kepeduliannya yang tulus pada kesejahteraan orang lain sangat nyata sampai musuh-musuhnya pun melihatnya (2:10). Ia mengekspresikan kepeduliannya dalam berpuasa, berdoa, dan airmata (1:4-6). Nehemia mengidentifikasikan dirinya dengan bangsanya dalam penderitaan dan dosa-dosa mereka (1:6).

Nehemia tidak hanya memiliki kharisma tetapi juga karakter yang baik. Pada masa kini, banyak pemimpin yang memiliki kharisma tetapi tidak memiliki karakter. kharisma adalah daya tarik pribadi yang besar, pesona, tetapi karakter adalah kekuatan moral atau etika, integritas.[15] Karakter terungkap dengan apa yang kita lakukan ketika tidak ada orang yang memperhatikan. Karakter juga terlihat ketika melakukan perkara yang benar bagi orang lain walaupun perkara yang baik tidak terjadi pada kita. Itulah yang dilakukan Tuhan Yesus dalam 1 Petrus 2:22-23, “Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.”

Karakter yang baik dan mantap akan mendukung keberhasilan seorang pemimpin. John C. Maxwell[16] menarik empat cara agar kita mendapatkan simpati dari orang yang kita pimpin, yakni:
Kalau Anda gerakkan orang-orang Anda dengan perasaan terlebih dulu, mereka akan lebih bersedia mengambil tindakan.
Kalau Anda memberi terlebih dahulu, orang-orang Anda akan balas memberi.
Kalau Anda menarik simpati individu, Anda akan segera diperhatikan orang banyak.
Kalau Anda ulurkan tangan kepada orang-orang Anda, mereka akan balas mengulurkan tangan kepada Anda.

Panggilan tertinggi tentang ketulusan hati yang diperlukan sebagai pemimpin sekarang ini adalah panggilan untuk saling mengasihi sebagaimana kita telah dikasihi, saling mengampuni sebagaimana kita telah diampuni. Iman membangun iman. Pesimisme merombak iman.[17] Tugas utama pemimpin rohani adalah membangun iman orang lain. Sering kali sulit untuk mendengarkan Roh Kudus yang membisikkan panggilan ini ke dalam hati kita bila kita telah terlatih dalam sistem-sistem yang lebih mendukung kebenarannya sendiri ketimbang yang lain.[18]

PEMIMPIN VISIONER

Nehemia memiliki pandangan yang jauh ke depan. Ia tahu bahwa perlawanan pasti akan bangkit, jadi ia meminta surat-surat dari raja agar perjalanannya aman dan ia mendapat sumber-sumber untuk menyelesaiakan tugas itu, “memasang balok-balok pada pintu-pintu gerbang di benteng bait suci, untuk tembok kota” (2:8). Ia dengan cermat merencanakan strateginya. Tuhan memakai orang biasa, yang awam yang memiliki tujuan-tujuan dan visi-visi yang tidak biasa.[19] Nehemia mengungkapkan visinya dengan istilah yang sederhana mungkin. Sasaran bangsa itu adalah membangun kembali tembok Yerusalem.[20]

Setiap calon pemimpin harus punya visi. Tanpa visi tidak mungkin dia bisa mencapai apa yang dituju. Kejelasan visi akan memungkinkan seorang pemimpin menjadi percaya dan yakin. Visi berkaitan dengan menciptakan sesuatu yang baru, tidak meremehkan yang lampau, tetapi membangun di atas fondasi yang dulu dan yang sekarang, muncul dengan realitas yang lebih baik, daripada realitas yang ada sekarang. Bila diwujudkan secara penuh, visi membawa kita lebih dekat kepada cita-cita kita.[21] Visi memerlukan suatu tindakan nyata. Pemimpin luar biasa bangun di pagi hari dengan sebuah rencana dan mengerjakannya. Mereka tidak selalu minta izin sebelum bergerak. Kepemimpinan adalah memproduksi hasil.[22] Visi kepemimpinan adalah kemampuan pemimpin untuk melihat serta memahami keinginan suci yang ditulis oleh Allah di dalam batinya bagi organisasi serta kepemimpinannya. Dalam visi itu ada kehendak Allah yang khusus bagi kepemimpinan seorang pemimpin.[23]

Nehemia memiliki sasaran dalam kepemimpinannya. Sasaran Nehemia adalah untuk membangun kembali tembok Yerusalem yang telah runtuh dan terbakar (1:3; 2:17). Nehemia mengajak penduduk dan mereka mendukungnya. Mengapa pemimpin perlu mempunyai sasaran? Paling sedikit ada tiga alasan, antara lain:[24]
1. Pengarahan. Pemimpin memerlukan sasaran untuk mengarahkan kehidupannya. Tidak mungkin bagi seseorang untuk terus maju kearah tujuannya jika ia tidak mempunyai tujuan tertentu.
2. Kemajuan. Sasaran itu penting untuk menjamin agar ada kemajuan. Jika di gereja tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sasaran utama, yang dapat dijadikan tujuan dan yang dapat diperjuangkan oleh segenap orang percaya yang tergabung dalam jemaat itu, maka program gereja itu mungkin kelihatannya seolah-olah sibuk tetapi sebenarnya tidak mengalami kemajuan apa-apa.
3. Hasil yang dicapai. Sasaran penting agar ada satu hasil yang dapat dilaksanakan sampai selesai. Jika tidak mempunyai sasaran tertentu maka tidak akan pernah diketahui berhasil atau tidak suatu program yang dilakukan. Setelah menentukan sasaran kemudian ada penerapan kalau tidak ada penerapan maka sasaran itu hanya suatu ide mistik saja. Kekristenan bukanlah sebuah filsafat yang terbatas pada alam ide, melainkan suatu cara hidup yang harus diterapkan dan dilaksanakan.[25]

PEMBUAT KEPUTUSAN YANG JELAS

Nehemia dapat membuat keputusan-keputusan yang jelas. Ia tidak menghindari kata-kata keras, melainkan berbicara langsung mengenai inti permasalahan dan membuat penilaian. Dan keputusan-keputusannya tidak berat sebelah; ia tidak memandang bulu. Ketika kecaman dibutuhkan, ia memberikannya kepada para pejabat dan eksekutif sebagaimana kepada para pekerja (5:7). Kadang-kadang perlawanan mengembangkan kerendahan hati untuk melindungi kita dari kebanggaan yang sia-sia.[26]

Pada umumnya orang tidak menyukai masalah, cepat bosan kepada masalah, dan akan melakukan hampir apa saja untuk melepaskan diri dari masalah. Iklim membuat orang lain meletakkan kendali kepemimpinan di tangan seseorang – kalau dia bersedia dan mampu menangani masalah mereka atau melatih mereka untuk memecahkan masalah. Keahlian memecahkan masalah seorang pemimpin harus dipertajam karena setiap keputusan menjadi keputusan besar.[27] Raja Salomo merupakan satu contoh pemimpin yang memiliki fungsi kreativitas dalam memecahkan masalah, saat dia mengancam untuk membelah dua bayi.

Dalam kepemimpinan gereja, pelatihan inovasi sangat diperlukan. Inovasi sebagai proses penciptaan dan pembaruan nilai sampai dapat dimanfaatkan atau di konsumsi oleh masyarakat, sebagaimana Yesus berkata, “hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”, artinya selalu kreatif-inovatif tetapi tetap menjaga ketulusan dan integritas.[28]
Kebimbangan dalam mengambil keputusan telah mengganggu keefektifan banyak pemimpin. Pembuat keputusan yang tidak efektif pada dasarnya mengandung dua masalah: keragu-raguan untuk membuat keputusan, dan membuat keputusan yang tidak tepat. Satu keputusan yang salah dapat membawa pemimpin ke jalan buntu atau ke jalan yang menuju kehancuran. Sebagai seorang pemimpin soal mengambil keputusan itu merupakan seni yang harus dikuasai.[29]

Kennet O. Gangel membagi ke dalam empat bagian mengapa pemimpin ragu dalam membuat keputusan,[30] yaitu:

Kurangnya tujuan yang jelas.
Kadang-kadang para pemimpin tidak bertindak karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Ketidakmantapan dalam kedudukan atau otoritasnya.
Kadang-kadang pemimpin takut bertindak karena takut akan akibatnya.

Kurangnya informasi
Pemimpin yang tidak secara aktif mencari semua informasi yang dapat ia peroleh sebelum memberikan keputusannya berarti melumpuhkan dirinya sendiri dalam proses pembuat keputusan.


Ketakutkan akan perubahan.
Banyak pemimpin ingin mempertahankan status quo. Karena sebagian besar keputusan menghasilkan semacam perubahan, keputusan selalu tampak sebagai ancaman terhadap operasi-operasi yang sedang berlaku.

PEMIMPIN YANG BERTANGGUNG JAWAB

Di dalam usaha apa pun, pemimpinlah yang bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan misinya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi dan semangat juang, dan salah safu faktor kunci adalah tanggung jawab.[31] Nehemia menerima tanggung jawab dengan maksud terus mengerjakan pembangun tembok Yerusalem. Nehemia sudah siap untuk hal yang terburuk.[32]

Yesus mendefinisikan kepemimpinan sebagai pelayanan, dan itu berlaku entah seorang pemimpin bekerja dalam organisasi sekuler atau gereja. Gaya kepemimpinan Yesus adalah menjadi seorang hamba, meski Dia sungguh memiliki semua kuasa dan otoritas surgawi.[33] Ia menunjukkan simpati pada masalah orang lain, namun simpatinya menguatkan dan membangkitkan semangat; tidak melunakkan dan melemahkan. Disiplin adalah tanggungjawab lain dari pemimpin, tugas yang seringkali tidak disambut dengan baik.

J. Oswald Sanders, mengatakan:

“Masyarakat Kristen apa pun membutuhkan disiplin yang benar dan penuh kasih untuk mempertahankan standar-standar ilahi dalam doktrin, moral dan perbuatan.”[34]


Sering kali pemimpin tergoda untuk melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas sesuatu yang buruk dan tidak menyenangkan.[35] Seorang pemimpin memiliki banyak elemen dalam hal tanggungjawab. Pertama, pemimpin sejati terutama peduli pada kesejahteraan orang lain, bukan kenyamanan atau kedudukannya sendiri. Pemimpin rohani selalu mengarahkan keyakinan orang lain kepada Tuhan. Ia melihat dalam setiap keadaan untuk menolong. Kedua, disiplin adalah tanggungjawab dari pemimpin, tugas yang seringkali tidak disambut dengan baik. Paulus menjelaskan roh yang harus dimiliki para pemimpin yang memberikan disiplin. “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” (Galatia 6:10.). Ketiga, para pemimpin harus memberikan bimbingan. Pemimpin rohani harus tahu ke mana ia akan pergi sebelum memimpin orang lain. Pemimpin harus berjalan di depan kawannnya. Bersedia mengambil tanggung jawab merupakan tanda seorang pemimpin. Yosua adalah orang seperti itu. Ia tidak ragu-ragu mengikuti salah seorang pemimpin terbesar seperti Musa. [36]


Salomo menyebutkan lima hal yang merupakan tanggung jawab seorang pemimpin:

1. Menegur atau mengoreksi. Ada kalanya seorang pemimpin melihat serangkaian tindakan yang salah tetapi tidak bersedia menegurnya karena takut tidak akan disukai orang. Salomo berkata, “Siapa menegur orang akan kemudian lebih disayangi daripada orang yang menjilat” (Amsal 28:23).
Yesus memperingatkan murid-murid-Nya tentang berbagai bahaya yang ada di depan. Dia khususnya memperingatkan Petrus bahwa dia akan mengkhianati-Nya, dan mengecewakan-Nya, dan Petrus memang melakukan itu. Apa yang mengubah Petrus kembali? Yesus yang mengubahnya. Meskipun Petrus menyangkal Yesus tiga kali, tiga kali pula Petrus diberi kesempatan untuk menegaskan kembali kasih dan komitmennya untuk memelihara domba-domba Yesus. Petrus belajar sesuatu tentang kemarahan dari Yesus; kemarahan Yesus itu bisa menjadi hal yang paling disukai di dunia. Dalam mengembangkan para pemimpin, perlu mengetahui bahwa mereka akan gagal. Ketika itu terjadi, mereka perlu dikoreksi, dorongan semangat dan kesempatan untuk mulai lagi.[37]

2. Bertindak dengan tegas. Salomo mengatakan bahwa apabila seseorang membiarkan tingkah laku yang tidak benar dengan mengatakan ia tidak mengetahuinya, ia masih harus bertanggung jawab dihadapan Allah yang menguji hati, dan membalas manusia menurut perbuatan-Nya. (Amsal 24:11-12). Pemimpin perlu mendorong orang untuk lebih baik, atau bila perlu memecat yang tidak produktif.[38]
Dalam kepemimpinan Nehemia, dia terus menggalakkan kerjasama di antara bangsa itu. Ia hentikan praktek lintah darat, dan ia ciptakan persatuan di antara penguasa yang kaya dengan orang-orang yang merasa tertindas. Ia juga mempersatukan orang-orangnya dan memberi mereka makan dari uangnya sendiri. Tanpa kerjasama, tembok Yerusalem itu takkan berhasil dibangun kembali.[39]

3. Mendengarkan Kritik. Pemimpin bertanggung jawab untuk mendengarkan kritik dari rekan-rekannya. “Siapa mengindahkan teguran adalah bijak.” (Amsal 15:5). Menangani pengkritik, pengeluh dan bahkan sering kali si mulut besar, adalah pelayanan rutin. Tetapi tidak semua kecaman keras merupakan kritik rutin. Ada batas yang halus antara mudah tersinggung dan keras kepala. Untuk menjadi seorang pemimpin terutama pemimpin rohani yang berhasil, seseorang harus memiliki pikiran seorang sarjana, hati seorang anak, dan kulit seekor badak.[40]

4. Bersikaplah Jujur. Pemimpin bertanggung jawab untuk menjaga agar setiap hal terbuka dan jujur. “Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya.” (Amsal 18:7).
Keterbukaan berarti tidak mengandalkan kekuatan dan pengertian sendiri. Pemimpin yang tidak mau diajar hampir selalu putus hubungan dengan Allah serta orang-orangnya.[41]

5. Bersikaplah Adil. Pemimpin bertanggung jawab untuk bertindak adil terhadap bawahannya. “Neraca serong adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat.” (Amsal 11:1). Keprihatinan adalah hasrat untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan bagi orang lain. Kalau hati terusik untuk melayani, kecil kemungkinannya bersikap untuk mementingkan diri sendiri.[42]

ADMINISTRATOR YANG BAIK

Administrasi adalah pengaturan orang-orang dalam perkumpulan untuk meraih tujuan bersama. Salah satu unsur penting dalam administrasi adalah kesanggupan untuk bergaul dengan orang secara benar-benar ramah, sopan, tetapi mantap.[43]

Nehemia seorang pemimpin yang tidak melakukan pekerjaan dengan serampangan. Nehemia mengorganisasikan orang-orangnya menurut keluarga dan menurut prioritas yang telah direncanakannya, mulai dari gerbang kota tersebut. Tembok Yerusalem berhasil dibangun kembali karena kemampuan Nehemia untuk bekerjasama dengan orang lain dan memimpin mereka ke mana mereka harus menuju. Dia berupaya melibatkan sebanyak mungkin orang dalam prosesnya dan bergerak maju dengan mereka yang sudah siap. Dia organisasikan mereka dalam kelompok-kelompok alami berdasarkan hubungan.[44]

Persatuan mendorong pengaruh yang kuat. Persatuan penting bagi suatu tim agar menjadi terfokus pada tujuan. Hati, kemauan dan kekuatan anggota tim harus dipersatukan dengan tujuan dan arah yang sama.[45] Mendengarkan masukan atau dorongan dari bawahan merupakan suatu karakter kepemimpinan yang demokratis. Kepemimpinan jenis ini lebih bertahan lama daripada pemimpin yang menggunakan otoritas tanpa mau bekerjasama dengan orang lain terutama untuk membuat suatu keputusan.

KESIMPULAN

Nabi Nehemia telah menunjukkan gaya kepemiminan yang dapat menjadi salah satu teladan di antara banyak tokoh pemimpin dalam Alkitab. Integritas merupakan kriteria utama dalam diri seorang pemimpin Kristen yang baik dan besar. Keputusan-keputusan yang mempengaruhi banyak orang diawali dari karakter.

Nehemia adalah pemimpin yang memiliki kasih dan tanggung jawab dan yakin akan visinya bahwa Allah menuntunnya untuk melaksanakan satu pekerjaan yang menurut orang lain merupakan sesuatu pekerjaan yang tidak mungkin. Namun apa pun kritik banyak orang kepada Nehemia, dia tetap teguh dan focus kepada tujuan dengan tetap rendah hati meminta kekuatan dan petunjuk dari Allah lewat doa.

Nabi Nehemia berhasil membangun kembali tembok Yerusalem. Pekerjaan berat namun dia menjadi seorang pemimpin yang mampu sampai pada sasaran. Kepuasan total dia peroleh bersama dengan orang-orang yang mendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA


Barna, George., Leaders On Leadership. Malang : Gandum Mas, 2002.

Eims, Leroy., 12 Ciri Kepemimpinan yang Efektif. Bandung : Kalam Hidup, 2003.

Gangel, Kenneth O., Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Malang : Gandum Mas,
1998.

Gordon, Bob., Visi Seorang Pemimpin. Jakarta : Nafiri Gabriel, 2000.

Harefa, Andrias., Kepemimpinan Kristiani. Jakarta : UPI STT, 2001.

J. Oswald Sanders, Oswald, J., Kepemimpinan Rohani. Batam Centre : Gospel Press,
2002.

Maxwell, John C., 21 Menit Paling Bermakna dalam Hari-hari Pemimpin
Sejati. Batam Centre : Interaksara, 2002.

Meyer, Joyce., Membangkitkan Roh Kepemimpinan. Jakarta : Trinity Publishing, 2002.

Sinamo, Jansen H., Kepemimpinan Kristiani. Jakarta : UPI STT, 2001.

Stacy T. Rinehart, Stacy T., Paradoks Kepemimpinan Pelayan. Jakarta : Immanuel,
2003.

Tomatala, Yacob., Anda Juga Bisa Menjadi Pemimpin Visioner. Jakarta : YT
Leadership Foundation, 2005.

Zenger, John H., and Joseph Folkman., The Handbook For Leaders. New York :
McGrawHill, 2004.
[1] J. Oswald Sanders, Kepemimpinan Rohani. (Batam Centre : Gospel Press, 2002), hlm. 280.
[2] George Barna, Leaders On Leadership. (Malang : Gandum Mas, 2002), hlm. 103.
[3] Kenneth O. Gangel, Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. (Malang : Gandum Mas, 1998), hlm. 104.
[4] Stacy T. Rinehart, Paradoks Kepemimpinan Pelayan. (Jakarta : Immanuel, 2003), hlm. 114.
[5] John C. Maxwell, 21 Menit Paling Bermakna dalam Hari-hari Pemimpin Sejati. (Batam Centre : Interaksara, 2002), hlm. 123.
[6] George Barna, Op. Cit., hlm. 108.
[7] George Barna, Ibid., hlm. 146.
[8] J. Oswald Sanders, Op. Cit. hlm. 228.
[9] Andrias Harefa, Kepemimpinan Kristiani. (Jakarta : UPI STT, 2001), hlm. 34.
[10] George Barna, Op. Cit., hlm. 141.
[11] Leroy Eims, 12 Ciri Kepemimpinan yang Efektif. (Bandung : Kalam Hidup, 2003), hlm. 149-150.
[12] Stacey T. Rinehart, Op. Cit, hlm. 38-39.
[13] Yacob Tomatala, Anda Juga Bisa Menjadi Pemimpin Visioner. (Jakarta : YT Leadership Foundation, 2005), hlm. 56-57.
[14] J. Oswald Sanders, Op. Cit., hlm. 280.
[15] Joyce Meyer, Membangkitkan Roh Kepemimpinan. (Jakarta : Trinity Publishing, 2002), hlm. 304.
[16] John C. Maxwell, Op. Cit, hlm. 194-195.
[17] J. Oswald Sanders, Op. Cit., hlm. 282.
[18] George Barna, Op. Cit., hlm. 94-95.
[19] Joyce Meyer, Op. Cit., hlm. 353.
[20] John C. Maxwell, Op. Cit., hlm. 84.
[21] George Barna, Op. Cit., hlm. 56.
[22] John H. Zenger and Joseph Folkman, The Handbook For Leaders. (New York : McGrawHill, 2004), hlm. 13-14.
[23] Yacob Tomatala, Op. Cit., hlm. 24.
[24] Leroy Eims, Op. Cit., hlm. 124-125.
[25] Bob Gordon, Visi Seorang Pemimpin. (Jakarta : Nafiri Gabriel, 2000), hlm. 84.
[26] George Barna, Op. Cit., hlm. 137.
[27] John C. Maxwell, Op. Cit., hlm. 87-88).
[28] Jansen H. Sinamo, Kepemimpinan Kristiani. (Jakarta : UPI STT, 2001), hlm. 143-144.
[29] Leroy Eims, Op. Cit., hlm. 143
[30] Kenneth O. Gangel, Op. Cit., hlm. 164-165.
[31] Leroy Eims, Op. Cit., hlm. 14.
[32] John C. Maxwell, Op. Cit., hlm. 84.
[33] Stacey T. Rinehart, Op. Cit, hlm. 76.
[34] J. Oswald Sanders, Op. Cit., hlm. 217.
[35] Leroy Eims, Op. Cit., hlm. 15.
[36] J. Oswald Sanders, Loc. Cit.
[37] George Barna, Op. Cit., hlm. 159.
[38] John H. Zenger and Joseph Folkman, Op. Cit., hlm. 38.
[39] John C. Maxwell, Op. Cit., hlm. 85.
[40] George Barna, Op. Cit., hlm. 136.
[41] John C. Maxwell, Op. Cit., hlm.115
[42] Ibid., hlm. 77.
[43] Kenneth O. Gangel, Op. Cit., hlm. 142-143.
[44] John C. Maxwell, Op. Cit., hlm. 82-84.
[45] George Barna, Op. Cit., hlm. 291.