Kamis, 22 November 2007

IMAN yang AKTIF

Berfirmanlah TUHAN kepada Abram, “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari dumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutujukkan kepadamu.” (Kej. 12:1).
Kata “pergi”, dalam Ibrani, lekh, ‘to walk’, artinya berjalan. Ini kalimat perintah (imperative) dari Allah. Abram disuruh pergi ke suatu negeri (eretz, tanah). Negeri yang dimaksud belum diketahui Abram. Ini masih merupakan bentuk visi, tetapi walaupun dalam Kej. 12:1, berupa bentuk visi, kita melihat dalam Kej. 15:7, pemakaian kata “memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu”, ‘memberikan’, nathan, leka, merupakan suatu pemberian yang pasti (imperfect).

Abram berasal dari Ur-Kasdim dimana hampir seluruh rakyat di daerah ini menyembah berhala. Kalau kita baca dalam Yosua 24:1-4, jelas bahwa Allah sengaja memilih orang yang tidak mengenal-Nya untuk menjadi alat misi-Nya. Seluruh keluarga Abraham adalah penyembah berhala.

Mengapa Abraham begitu cepat mau diperintah TUHAN? Bukankah dia dan seisi keluarganya sudah memiliki allah yang disembah?
Ada pepatah mengatakan ‘tak kenal maka tak sayang’. Dalam teologi terdapat istilah ‘penyataan’, ‘revelation’. Bentuk penyataan yang terjadi dalam era Abraham terdiri dari beberapa bentuk:

  • TUHAN langsung ‘berbicara’ kepada Abraham (Kej. 12:1).
    Suatu keajaiban bagi semua orang jikalau TUHAN berbicara langsung. Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, tidak seperti allah lainnnya.
  • TUHAN ‘menampakkan diri’ kepada Abraham (Kej. 12:7).
    Hampir semua terjemahan Alkitab menerjemahkannya dengan kata ‘appear’, dalam Ibrani ra-ah, artinya ‘to see’, melihat. Mungkin sebagian orang akan bertanya, bukankah Allah itu tidak bisa dilihat? Komentator, Henry M. Morris, mengatakan, “This is the first time in Scripture where we read of an actual appearance of God. Here there must have been an actual visible manifestation….”

Kita akui bahwa “theophany” berupa penyataan Allah dalam Alkitab terjadi dalam banyak cara yaitu, melalui malaikat TUHAN, tiang awan dan tiang api, atau melalui jejak kaki dan ‘belakang’ Allah (era Musa). Dalam era Musa sendiri, meskipun terdapat kalimat “berhadap-hadapan”, ‘berhadapan muka’ dengan Allah (Kel. 33:17-23; Bil. 12), tetapi jelas bahwa akar kata Ibrani dalam Bil 12:8, peh el peh, yang artinya ‘mulut ke mulut’ (RSV), mengindikasikan bahwa Musa tidak dijinkan TUHAN untuk melihat wajahNya kecuali hanya bagian ‘belakang’Nya. Sama halnya dengan Kel. 24:10, ketika Musa dan orang-orang yang bersama dengan Dia naik ke bukit, mereka tidak melihat wajah Allah, melainkan hanya ‘kaki’Nya.


Dengan melihat perbedaan ini, menurut saya, Abraham merupakan pengecualian. Seperti apa wajah Allah yang dilihat oleh Abraham kita tidak tahu, (bdg. Yoh. 1:18) tetapi sekali lagi mungkin tujuan Allah adalah untuk menetapkan hati Abraham terhadap misi besar yang akan dilakukannya.


Pertanyaan lain muncul yaitu jikalau Allah ingin memberikan suatu negeri kepada Abram, mengapa tidak langsung diberikan dengan identitas negeri yang jelas? Apa sebenarnya tujuan Allah dibalik pemanggilan Abram keluar dari Ur-Kasdim?
Allah merupakan Allah yang aktif yang dapat kita lihat mulai dari karya penciptaan sampai kepada pemanggilan Abraham itu sendiri. Memang logisnya kalau Allah yang memberi, mengapa Abraham harus susah-susah untuk berjalan, mengembara ke suatu negeri yang tidak diketahuinya? Disini jelas bahwa Allah pun ingin agar manusia itu aktif sekaligus lewat keaktifannya itu, akan terjadi suatu proses yang mengubah karakter. Proses yang dialami oleh Abraham tidak sedikit bahkan Alkitab banyak mencatat pola hidup dari Abraham yang ‘kurang menyenangkan’ hati Allah.


Abraham sendiri tidak sampai kepada tanah yang dijanjikan. Setelah tenggang waktu cukup lama, janji Allah ini ditegaskan kembali dalam era Musa. Dalam Keluaran 3:6-8, TUHAN berfirman, “6 Lagi Ia berfirman: "Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub." Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah. 7 Dan TUHAN berfirman: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. 8 Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.”


Tujuan negeri yang tadinya masih berupa visi, kini di era Musa sudah mulai kelihatan identitas negeri tersebut. Bahwa Tuhan akan menuntun mereka ke suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.
Mengapa begitu lama Tuhan Allah memberikan tanah itu – sampai melewati era Abraham, Ishak dan Yakub para bapa leluhur Musa? Yang paling menyedihkan setelah orang Israel diperbudak selama kurang lebih 430 tahun di Mesir!


Jelas bahwa Allah yang aktif, juga menginginkan manusia itu aktif dalam meresponi perintahNya. Allah tidak memberikan tanah dengan gampang, seperti seorang ayah langsung memberikan mainan kepada anak kesayangannya. Meskipun umat Israel adalah umat pilihan dan kesayanganNya, tetapi mereka harus berjuang untuk mendapatkan negeri yang dijanjikan itu dengan memproses karakter dan ketaatan mereka kepada-Nya. Di satu sisi, dari sinilah muncul pemahaman bahwa manusia harus KERJA. Tidak serta merta, umat Israel menemukan ‘susu’ dan ‘madu’. Ini menentang pemahaman banyak orang yang mengalami ‘syndrom Israel’, dengan mengatakan bahwa tanah itu diberkati tanpa melihat sejarah. Mereka lupa sejarah bahwa apa yang dihasilkan oleh bangsa Israel dari jaman dulu dan sekarang, tidak terlepas dari kerja keras mereka dalam mengelola tanah tersebut. Memang mereka telah dikaruniai Tuhan intelektual yang brilian, yang mungkin diatas rata-rata orang normal. Dan melalui intelektual inilah Allah bekerja memberikan kesejahteraan dan hasil bumi yang mengagumkan meskipun hampir sebagian besar tanah di sana gersang. Ini relevan dengan firman Allah sendiri, “dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah.” (Kej. 3:19). Ini bukan hukuman (kutuk?) yang harus dipatahkan. Apakah “teologia pematahan kutuk” akan serta merta memberikan kemakmuran bagi bangsa-bangsa tanpa ada aktivitas di berbagai bidang misalnya ekonomi yang berhubungan dengan perdagangan, agraria, transportasi dan sebagainya? Apakah susu dan madu yang dijanjikan Allah bagi bangsa Israel datang dalam bentuk bungkusan besar jatuh dari langit? Tidak. Manusia tetap harus kerja tetapi bagi orang yang hidup dalam perintah-Nya, maka apapun yang dikerjakan akan berhasil dan menjadi berkat bagi banyak orang. Jangan lupa, bahwa perjalanan menuju tanah Kanaan, orang Israel harus membunuh bangsa lain atas seijin Allah. Jadi meskipun tanah itu adalah pemberian Allah, namun bangsa Israel harus aktif untuk mengusahakan dan mendapatkannya.


Kasih Karunia Tanpa Syarat?


Kita sudah memahami bahwa Allah yang berinisiatif “memberikan” tanah perjanjian bagi bangsa Israel melalui bapa leluhur. Pemberian, gift, merupakan anugerah yang semestinya manusia terima tanpa syarat. Demikian halnya dengan penyataan Allah yang inkarnasi menjadi Manusia, Yesus Kristus. Adalah inisiatif Allah mengutus Anak-Nya yang Tunggal, karena kasih-Nya yang besar (Yoh. 3:16). Allah ingin menyelamatkan manusia yang sudah berkembang biak banyak tetapi penuh dengan dosa tersebut, melalui pencurahan darah Tuhan Yesus di kayu salib. Yesus menyanggupi misi Allah terhadap diri-Nya. Dia rela disalib agar umat manusia itu bisa lagi berhubungan dengan Allah dan layak masuk sorga.
Sekarang timbul pertanyaan yang sudah sangat lazim sejak bapa-bapa gereja dan sejarah pembentuk aliran denominasi. Apakah keselamatan itu bersyarat? Apakah setelah Allah “memberikan” Anak-Nya, maka manusia itu pasif sebagai orang percaya, tanpa ada tanggung jawab lagi untuk mempertahankan keselamatan tersebut? Apakah cukup dengan kata percaya, seperti yang Paulus katakan, ‘mengaku dengan mulut dan percaya, maka selamat’? (Rm. 10:9).
Saudaraku para pembaca, seperti yang dijelaskan di awal bahwa ‘pemberian’ Allah kepada Abraham tanah perjanjian, harus dikerjakan. Demikian halnya, keselamatan harus ‘dikerjakan dengan takut dan gentar” (alarm, fright), kata Paulus di kitab yang lain (Flp. 2:12). Bangsa Israel banyak yang mati bahkan atas seijin Allah lewat penghukuman, karena tidak taat kepada-Nya, padahal identitas mereka adalah umat pilihan dan umat kesayangan. Apakah Anda merasa menjadi umat pilihan karena sudah mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat? Amin. Tetapi jangan lupa, Anda harus aktif mengerjakannya, karena seiring berjalannya waktu, Iblis selalu mengaum-aum mencari mangsa yang dapat dimakannya. (1 Ptr. 5:8). Bahkan Yesus yang penuh Roh pun dicobai oleh Iblis (Mat. 4:1-11). Di saat kita lengah, karena pandangan akan kasih karunia tanpa syarat, pada saat yang sama sebenarnya sudah menuju kepada kebinasaan. Meskipun Paulus dalam suratnya di Roma mengutamakan 'iman' daripada 'perbuatan', namun konteksnya pada saat itu adalah menyangkut sisa Israel dan keberadaan mereka yang patuh terhadap hukum Taurat daripada beriman kepada Tuhan Yesus. Paulus dalam ayat lain di surat Roma, menegaskan bahwa ia tidak pernah bermaksud untuk membatalkan Hukum Taurat karena iman, tetapi justru untuk meneguhkannya. Ini berarti melengkapi apa yang dikatakan oleh Yakobus bahwa iman dan perbuatan merupakan dua faktor kesempurnaan dalam kekristenan. Abraham tidak akan disebut sebagai bapak beriman kalau ia tidak bertindak untuk mempersembahkan anaknya Ishak.

Dalam Injil Matius 7:21-23, jelas dikatakan, “21 Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. 22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? 23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"


Keaktifan yang saya maksud disini bukanlah seperti agama lain yang berusaha mencari keselamatan. Keselamatan umat Kristen sudah didapatkan dan itu merupakan pengakuan iman kita kepada Tuhan Yesus. Tetapi, seperti Abraham, Musa bahkan Yosua aktif, maka kita pun harus menjadi anak-anak Tuhan yang aktif, bukan pasif, dalam memelihara keselamatan itu. Mungkin ada yang bertanya, apakah mungkin? Jadi apa artinya kasih karunia kalau masih ada syaratnya, yaitu perbuatan? Ingat, bahwa Tuhan Yesus memahami segala keterbatasan kita. Dia mengerti kemampuan kita tiap individu. Sebagaimana Allah menetapkan tanggung jawab standar kekudusan moral yang tinggi bagi umat Israel, maka sesungguhnya dibalik keterbatasan kita sebagai manusia, Allah pun mengharapkan kita untuk mau membuka hati diperbaharui setiap saat supaya meneladani karakter Yesus. Metode keselamatan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tetap sama. Kasih dan murka Allah tetap sama yang berbeda adalah indikatornya. Kalau di Perjanjian Lama hukuman langsung terlaksana tetapi dalam Perjanjian Baru tidak demikian.

Melalui pembacaan firman diatas, itu mengindikasikan bahwa Tuhan tidak melihat hasil pelayanan kita. Pelayanan itu ternyata bukan ukuran Tuhan Allah bagi layaknya seseorang masuk kerajaan sorga, tetapi melakukan 'kehendak Bapa', (Mat. 7:22), kehendak (Yunani: thelema), artinya ketentuan, sabda, titah. Kalau tidak melakukan kehendak Bapa, maka selanjutnya dikatakan, "enyahlah, kamu pembuat kejahatan" (Mat. 7:23). 'Kejahatan' (Yunani : anomia), artinya pelanggaran hukum, ilegalitas (violation of law). Hukum yang mana yang dimaksud? Dalam Mat. 7:12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Dengan demikian jelas bahwa tanpa kasih kepada Allah dan sesama, pelayanan kita tidak ada artinya; selanjutnya setiap anak-anak Tuhan diharapkan untuk memiliki pembaharuan karakter dalam tindakan nyata sehari-hari yang kalau boleh saya pinjam istilah dari seorang hamba Tuhan, kita harus menjadi KLONING TUHAN YESUS, mengenakan baju Yesus. Amin.