Dari mana asal mula pecahnya kerajaan itu?
Mari kita simak firman dalam 1 Samuel 8:19-22:
19 Tetapi bangsa itu menolak mendengarkan perkataan Samuel dan mereka berkata: "Tidak, harus ada raja atas kami; 20 maka kamipun akan sama seperti segala bangsa-bangsa lain; raja kami akan menghakimi kami dan memimpin kami dalam perang." 21 Samuel mendengar segala perkataan bangsa itu, dan menyampaikannya kepada TUHAN. 22 TUHAN berfirman kepada Samuel: "Dengarkanlah permintaan mereka dan angkatlah seorang raja bagi mereka." Kemudian berkatalah Samuel kepada orang-orang Israel itu: "Pergilah, masing-masing ke kotanya."
Mengapa rakyat menolak raja dari keturunan Samuel? Ternyata hal itu dimulai dari keluarga Samuel sendiri.
- Samuel sudah tua. (1 Sam. 8:1), dia mengangkat anaknya yang sulung, Yoel, dan anaknya yang kedua, Abia, menjadi hakim di Bersyeba.
- Di lapangan, Yoel dan Abia, merupakan hakim yang tidak benar. Mereka hidup mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan. (1 Sam. 8:3). Orang Israel sangat membenci tindakan seperti ini. Dalam Perjanjian Baru, kita melihat kisah Zakheus.
Dari kedua alasan ini maka, bangsa itu menolak mendengarkan perkataan Samuel dan meminta seorang raja dan TUHAN mengijinkan Samuel. Maka diangkatlah seorang raja bernama Saul dari suku Benyamin (1 Sam. 9:1; 10:1; 13:1). Tetapi ia tidak taat terhadap perintah Allah melalui Samuel (1 Sam. 13:8-9; 13-14; 15:11, 19), maka tongkat kerajaan berpindah dari Saul kepada Daud. Daud menjadi raja atas Yehuda dan Israel (2 Sam. 5:5). Karakter khusus dalam kepemimpinan Daud adalah militer yang sangat kuat dengan banyak kuda perang. Alkitab mencatat bahwa Daud menempatkan pasukan-pasukan di pendudukan seluruh Edom, sehingga seluruh Edom diperbudak oleh Daud (2 Sam. 8:14).
Apa yang salah dalam pemerintahan Daud?
- Melalui kekuatan militer, dia membunuh Uria isteri Batsyeba yang dia sukai (2 Sam. 11:15).
- Melalui kekuatan militer, Daud memberlakukan kerja paksa atau perbudakan. (2 Sam. 12:31).
Kemudian setelah masa Daud, kerajaan masuk kepada kepemimpinan Salomo (1 Raj. 2:12). Tetapi apa yang kemudian yang salah dalam kepemimpinan Salomo?
- Istana lebih populer dari Bait Suci (1 Raj. 7:1-12).
- Banyak isteri.
- Beban upeti yang tinggi (1 Raj. 12:4).
- Menolak hukum raja dan keluarga (1 Raj. 12:14).
Hukum raja yang ditetapkan Allah kepada bangsa Israel dapat kita baca dalam Kitab Ulangan 17:14-20:
- Cinta saudara-saudaranya.
- Tidak boleh banyak kuda.
- Tidak boleh banyak isteri.
- Tidak boleh banyak emas, perak.
- Membaca sejarah Israel.
- Terus menerus belajar Taurat supaya jangan tinggi hati.
Nah, semua kriteria ini sudah dilanggar terutama dalam masa monarkhi (Daud, dan Salomo). Mereka hidup dengan memikirkan kebutuhan jasmani, padahal seorang raja dalam hukum Israel tidak diukur dari kekayaan (Salomo), kepopuleran dan kejayaan (Salomo, Daud). Dengan tidak memelihara fungsi kerajaan yang seharusnya membawa kerajaan ‘Syalom” maka terjadilah perpecahan dalam kerajaan itu.
Fungsi raja yang dituntut oleh bangsa Israel antara lain: Menjadi hakim (melekh) yang adil. (1 Sam. 8:19) dan pembebas dari perang bangsa-bangsa (1 Sam. 8:19)
Perpecahan kerajaan Israel menjadi dua kerajaan dapat kita baca dalam 1 Raja-Raja pasal 12. Yerobeam bin Nebat, seorang Efraim, bekas pegawai Salomo, menjadi raja atas sepuluh suku Israel, sementara suku Yehuda dan Benyamin dipimpin oleh Rehabeam anak Salomo.
Dari pengalaman raja-raja pada era Monarkhi, dapat kita simpulkan bahwa para raja-raja yang ‘diurapi’ Tuhan ternyata tidak menjalankan fungsinya sebagai raja yang membawa Syalom bagi umat Israel yaitu kerajaan yang memilik relasi yang damai dengan Allah, dengan sesama, dengan diri sendiri dan dengan lingkungan.
Dalam Yoh 14:27, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”
Semestinya pesan TuhanYesus ini pun menjadi pola bagi para pemimpin dunia, maupun pemimpin gereja masa kini bahwa mereka ditempatkan dalam takhta pucuk kepemimpinan bukan untuk memperkaya diri sendiri atau memperluas kekuasaan dengan menindas rakyat, tetapi menjalankan fungsinya bagi kesejahteraan. Di saat mereka lupa fungsi kewajiban yang sesungguhnya seperti yang dilakukan oleh para pemimpin sejarah dalam Kitab Suci, maka negara, bangsa, lembaga, dan organisasi gereja yang dipimpin akan mengalami perpecahan. Mereka ditempatkan untuk memberikan damai sejahtera seperti yang diteladankan oleh Tuhan Yesus.